Safir Keranjingan Pesawat


Sudah seminggu ini Safir, anakku nomor dua, keranjingan pesawat. Mulai bangun tidur di pagi hari sampai hendak tidur di malam hari ia minta dibuatkan pesawat. Tentu saja pesawat yang diminta bukanlah sejenis pesawat penumpang atau kargo yang sesungguhnya.

Aku sendiri tidak bisa menyebut jenis pesawat apa yang diminta kecuali ia terbuat dari selembar kertas, dilipat sedemikian rupa, kemudian dilepaskan, terbang bebas sebebas bebasnya. Meskipun durasi penerbangannya tidak lebih dari dua detik tapi cukup mampu mengembangkan senyum yang sesungguhnya, senyum kebahagiaan.


Tapi Safir, anakku yang hitam manis itu sangat pintar.
“Buatkan lagi, Mi,” pintanya. Dan jari jemariku dengan lincah bergerak kesana kemari melipat kertas yang entah sudah menjadi pesawat keberapa dengan nomor penerbangan ke sekian. Safir bisa menghabiskan satu buku tulis isi 30 lembar dalam sehari. Tentu saja buku tulis yang digunakan buku tulis bekas kakaknya, mbak Bita yang kini duduk di sekolah dasar.

Buku yang penuh tulisan, gambar, dan warna warni khas anak TK itu segera berubah menjadi pesawat yang indah. Kadang aku menuliskan Safir Air pada sayapnya untuk menunjukkan pesawat itu miliknya. Dan ia akan menerbangkannya dengan bangga sebangga seorang pilot menerbangkan pesawat pertamanya!

Dan bisa dibayangkan ruang tamu, kamar tidurnya, musholla, ruang keluarga, segera berubah fungsi menjadi bandara, tempat lalu lalang pesawat. Sebuah bandara tanpa pengelola. Pesawat berseliweran di mana-mana. Tidak jarang saling bertabrakan. Safir senang bukan kepalang.

Entah hari keberapa (aku kurang jeli memperhatikannya) Safir, kekasihku berambut jabrik itu, membuatku cemburu. Ia tidak mau kubuatkan pesawat. Ia lebih memilih abinya dan Mas Dendi, saudara sepupu, untuk memproduksi pesawatnya. Menurutnya, pesawatku kurang canggih, terlalu sederhana. Ia benar. Pesawat buatan abi dan Dendi itu lebih kompleks, punya tingkat kesulitan satu dua tingkat di atas pesawat buatanku. Dan performancenya itu, lebih cool, lebih maskulin dan bisa terbang jauh lebih lama dari pesawatku. Aku telah mendapat pesaing yang hebat!

Hebatnya lagi, anakku itu sudah pandai membandingkan sesuatu Tapi aku santai saja karena itu berarti ia telah belajar banyak hal, melihat, membandingkan dan memutuskan. Bukankah itu termasuk kecerdasan tersendiri bagi anak seusianya? Terlebih lagi, aku bisa mendelegasikan pembuatan pesawat pada pihak ketiga (he-he-he)

Begitulah, rumah kami dipenuhi oleh pesawat-pesawat. Lebih menyenangkan lagi karena akhirnya Safir mulai berusaha memproduksi pesawatnya sendiri. Pada awalnya dipenuhi oleh tangisan karena ia tidak bisa membuat pesawat sederhana seperti yang kubuat apalagi secanggih buatan abi dan Dendi. Tapi afirmasi positif yang kami buat menjadikannya pantang menyerah. Hari ini aku belum mengecek sudah berapa pesawat yang diproduksinya sekaligus diterbangkannya. Selamat mengudara, Pilotku!

Tanggulangin, 7 December 2007

Comments

Popular Posts