ZIAH

Ia anak yang unik. Aku tahu setiap anak itu unik tapi Ziah berbeda. Bahkan sejak pertama kali aku melihatnya, aku bisa merasakan aura keunikan itu. Insting keibuanku yang mengatakan itu. Insting keguruanku mendukung asumsi itu. Dan insting kewalikelasanku mendorong pembuktian asumsi itu. Ziah memang berbeda.

Dari dua puluh delapan anak di kelasku, Ziahlah yang pertama kali menarik perhatianku. Caranya berbicara, memandang, berjalan, bersosialisasi dengan lingkungan tidak seperti anak kebanyakan. Dan asumsi itu dibenarkan fakta-fakta yang kudapatkan di kemudian hari.


Pertama, seorang wali murid menelponku pada hari pertama sekolah. Ia mengenalkan diri sebagai ayah Putri Nadia, salah satu anak di kelas SalMa, satu lima, kelasku. Kemudian ia menceritakan betapa senangnya anak sulungnya tersebut diterima di sekolah favorit di kota ini dan harapan-harapannya ke depan. Namun akhirnya, ia menceritakan bahwa anaknya memutuskan mogok sekolah keesokan harinya karena tidak suka dengan pengaturan tempat duduk yang kubuat. Teman sebangku Putri suka ramai, berjalan-jalan semauanya, dan aneh. Ayah Putri menuntutku mengubah denah tempat duduk. Rupanya Putri duduk bersebelahan dengan Ziah.

Sebagai wali kelas, aku meminta ayah Putri membujuk anaknya untuk bersekolah. Kepadanya kuterangkan bahwa ini masih hari pertama, mungkin anak-anak masih dalam proses adaptasi dengan lingkungan yang baru. Aku berjanji akan berbicara dengan Putri dan Ziah secara terpisah. Alhamdulillah, wali murid ini bisa memahami.

Kedua, aku mendapat catatan kecil dari ketua kelas SalMa yang berbunyi: Hari ini Ziah dan Lian ramai terus, mondar mandir saat pelajaran Matematika. Sudah diingatkan tapi tetap saja. Setelah membaca memo tersebut, aku duduk di kursi wali kelas yang letaknya tepat di pojok belakang ruang kelas. Inilah meja kerjaku ketika tidak sedang mengajar. Di sini aku bisa mengobservasi tidak saja pola tingkah anak-anak sepanjang pembelajaran tapi juga menyaksikan bagaimana seorang guru mentransfer ilmunya dan memberi treatment yang tepat kepada mereka. Dari sini diharapkan tumbuh kembang anak akan optimal.

Benar saja. Dengan mata kepalaku sendiri aku menyaksikan betapa Ziah mondar-mandir meninggalkan tempat duduknya. Dan, mulutnya itu, seolah tak mau diam. Selalu mengumbar kata. Dan memo sejenis berulang kali kudapatkan sejak laporan pertama tersebut.

Ketiga, pada sebuah kesempatan makan siang di kantin, beberapa rekan guru mendiskusikan topik baru: Ziah.

“Masak sudah kuperingatkan berkali-kali, ia masih saja jalan-jalan di kelas,” ujar bu Tika, guru bahasa Indonesia.
“Kinestetik, kali!” sergah bu Yanti, guru kesenian.
“Mungkin ia sulit menerima pelajaran ketika duduk manis,” kata yang lainnya.
“Di Matematika itu, yang duduk diam saja masih sulit mengerjakan soal. Apalagi yang harus mondar-mandir begitu,” kali ini bu Dewi, guru Matematika yang menimpali.
“Kalau menurut Bu Arum, gimana? Ibu kan wali kelasnya,” tanya salah seorang dari mereka.
Aku tersenyum simpul. Tak tahu harus berkata apa karena selera makanku sedang bagus. Makan siang hari ini nasi rawon, favoritku.

“Wah, topik hangat nih,” kataku kemudian.
”Mmm, menurutku sih ada beberapa kemungkinan. Bisa jadi proses adaptasi dengan lingkungan baru agak lambat. Ziah itu kan dari SD luar As-Saliim sehingga bisa saja kultur yang lama itu terbawa di sini. Lagian, ini kan baru seminggu kita mengajar. Masih banyak yang harus kita pelajari. Yah, disyukurin aja. Siapa tahu dengan kehadirannya justru membuat kita lebih giat “belajar” lagi. Oke,” kataku menutup pembicaraan.

Aku harus segera ke BK, batinku.

***

Matahari bulan September menyapa pagi. Setelah hujan semalam pasti sinarnya terasa lebih hangat. Di lengkung langit yang biru tampak binar cerah. Harapanku agar secerah hari ini.

Aku menekuni angka-angka dalam lembar Daftar Kumpulan Nilai UTS ini. Ziah terkena remidi di semua bidang studi. Ada 12 bidang studi yang diujikan. Kasus baru yang kutemui. Biasanya paling banyak 7-8 remidi. Itu pun sudah mampu membuat guru dan wali kelasnya pusing. Apalagi 12. Pusing? Tentu saja, tapi itu tidak menyelesaikan masalah. Daftar ujian remidi dari panitia segera kuutak atik agar waktu tiga hari yang disediakan cukup untuknya. Ziah benar-benar kedodoran dalam hal ini.

Sebenarnya tidak aneh bagiku melihat kenyataan Ziah mendapat remidi dalam hal ini karena hasil tes masuk menunjukkan kapasitasnya yang sangat kurang jika dibandingkan dengan teman lainnya. Sebelum UTS pun tanda-tanda ke arah ini juga sudah ditampakkan. Ziah selalu kedodoran dalam mengikuti pembelajaran, apalagi Matematika. Mencatat pun ia selalu ketinggalan. Satu lagi, tulisan tangannya setara dengan tulisan tangan anak SD kelas empat!

Asumsiku ternyata benar: Ziah memang unik. Ia bermasalah, tidak saja relasi sosial tapi juga di bidang akademis. Untunglah, sejak dini aku sudah mengkomunikasikan keunikan ini pada konselor sekolah, bu Rani. Ia berjanji akan melakukan observasi lebih dalam kepada Ziah.

Yang kusesalkan, orang tuanya kurang kooperatif. Berkali-kali aku mencoba menghubunginya namun selalu gagal. Beberapa pesan yang kutulis di Buku Penghubung juga tidak menghasilkan respon positif. Aku sendiri heran, Ziah memberikan 4 sampai 5 nomor telepon yang kalau kuhubungi selalu nihil. Mail box lah, servis area di luar jangkauan, jaringan sedang sibuk, atau bahkan hanya bunyi tut..tut..tut dan tak terangkat. Hal ini juga membuat gemes teman-temannya khususnya kelompok tutornya karena selalu gagal dalam bersubuh call, sebuah program kelas membangunkan untuk sholat subuh secara berantai.

Hari ini aku mendapat nomor telpon baru dari Ziah. Aku berusaha kontak dan alhamdulillah tersambung. Tapi bukan orang tua yang menerima melainkan pembantunya. Aku menitip pesan dan berharap orang tua Ziah menelpon balik. Tapi sepanjang hari itu HPku tidak berdering. Ternyata, Aku belum seberuntung pagi yang disapa hangat sang mentari.

***

Surabaya yang panas di suatu siang. Gerah. Aku dalam perjalanan menuju rumah Ziah melakukan kunjungan rumah, Home Visit bersama bu Rani. Setelah satu jam perjalanan, sampailah kami di sebuah rumah yang sangat besar dan berteras sangat lapang. Pepohonan dan bunga-bunga mahal mengelilingi rumah berpagar tinggi tersebut. Setiba di ruang tamu yang lapang, kulihat pintu-pintu dan jendela terbuka lebar. Harapanku, semoga begitu juga dengan pintu hati ibunda Ziah. Terbuka dengan lapang.

Aku tidak habis pikir, seminggu yang lalu, pihak sekolah mengundang wali murid untuk sosialisasi program semester genap. Ziah ngotot kalau ibunya hadir di pertemuan yang merupakan agenda rutin sekolah itu namun aku tidak menemukan tanda tangannya di daftar hadir. Nah, di home visit ini aku ingin memastikan benar tidaknya hal tersebut.

Ibunda Ziah keluar dari ruang tengah dengan senyum yang aku tidak mampu menerjemahkannya. Setelah berbasa-basi sejenak, ia menceritakan bagaimana ia terus berusaha agar Ziah mendapatkan pendidikan yang baik. Dibayarnya beberapa guru les dengan sangat mahal , yang pada akhirnya menurut ibunda ini tidak optimal bagi perkembangan akademik Ziah. Alasannya, gurunya kurang pintar sehingga Ziah tidak pernah mendapat nilai bagus.

Ia tampak begitu dominan dan cenderung melempar kesalahan pada orang lain. Ketika sampai bagianku untuk menanyakan kehadirannya dalam pertemuan seminggu yang lalu, wanita cantik ini langsung terdiam. Ia mengakui tidak bisa datang karena anak yang terkecilnya sakit panas. Ibunda telah berbohong kepada Ziah. Hening sesaat. Akhirnya bu Rani mengambil alih.

“Ibu, beberapa hari lalu Kami melakukan serangkaian tes kepada Ananda berkaitan dengan kurang optimalnya Ziah dalam pembelajaran. Setelah mengevaluasi hasilnya maka Kami memutuskan memberikan terapi motorik kepadanya. Harapan kami, agar Ziah bisa lebih konsentrasi lagi karena konsentrasi ini dibutuhkan dalam penguasaan pelajaran. Nah, untuk itu kami butuh kerja sama dari orang tua untuk mendampingi Ziah melakukan latihan-latihan ringan seperti berdiri dengan satu kaki, …”

Mimik muka ibunda Ziah segera berubah.
“Anak saya itu normal, Bu, bukan autis,” katanya kemudian. Aku sedikit tersentak. Bu Rani tetap tenang.
“Siapa bilang putri Ibu autis. Ziah hanya belum menuntaskan motorik kasar dan halusnya. Itu saja. Dan itu berpengaruh pada konsentrasi belajarnya. Kalau dibiarkan, ia akan terus tertinggal. Kami berharap Ibu dan keluarga akan mendukung program ini dengan mendampingi Ziah melakukan latihan di rumah. Sementara Kami di sekolah akan mengevaluasi progress reportnya. Bagaimana?”

Ibunda Ziah tampak tak suka. Raut mukanya menegang.
“Yah, Ibu tidak perlu menjawab sekarang. Dipikirkan dulu saja. Yang pasti, semua ini Kami lakukan demi kebaikan Ziah,” kata bu Rani.
Kunjunganku kali ini bagai gayung tak bersambut.
Autis? Sepanjang perjalanan pikiranku dipenuhi oleh kata-kata ibunda Ziah.

***
Hatiku galau. Sepanjang karirku sebagai wali kelas, baru kali ini aku merasa galau. Yah, Ziah, gadis unik itu telah membuatku galau. Aku takut membuat keputusan yang salah.

Dua hari yang lalu, ketika kutanya ingin jadi apa ketika besar nanti, dengan mantap Ziah menjawab: pesikolog.

“Mengapa Kamu ingin jadi psikolog, Zi?” tanyaku mengejar.
“Karena Aku bisa bantu orang lain, Bu. Kayak bu Ana, pesikologku waktu di SD dulu. Ia selalu mendengar apa yang kuceritakan. Aku dulu pernah tidak naik kelas karena nilaiku jelek semua. Aku tidak bisa menerima pelajaran dengan cepat. Sebenarnya Aku itu cerdas, katanya. Tapi kenapa ya Aku tidak bisa menangkap pelajaran dengan cepat? Padahal Aku sekolah di sekolah biasa. Tidak seperti di sini yang sampai sore. Pelajarannya buanyak lagi. Apakah Aku autis ya?” tanyanya

“Mengapa Kamu bertanya seperti itu?” aku balik bertanya.
“Ya Bu, karena waktu kelas satu dulu Aku pernah mendengar tanteku menyuruh mama menyekolahkan Aku di tempat khusus tapi mama tidak mau. Akhirnya kelas empat Aku tidak naik kelas. Dua adikku autis. Dulu, sekolahnya khusus, Bu. Sekarang mereka pintar-pintar,” katanya kemudian.

Ziah tersenyum menceritakan kelucuan adik-adiknya. Aku mulai paham.

“Bu, apa Aku akan tidak naik kelas?” tanyanya. Kali ini mimiknya serius.
“Menurut Kamu?” tanyaku.
“Yah, remidiku kan banyak. Cuma satu pelajaran yang nggak remidi. Dan Aku tidak lulus di remidi-remidi itu,” Ia tampak sedih.
“Ziah, tidak naik kelas itu bukan hukuman. Ada anak-anak yang butuh waktu lebih lama untuk menguasai pelajaran ini-itu. Seperti Kamu. Dan itu bukan anak bodoh. Mungkin ia pandai di musik, olah raga, dan lain-lain. Atau ia tidak cocok dengan sekolah yang sehari penuh karena bisa jadi ia terlalu capek untuk berpikir. Bisa jadi di sekolah biasa ia akan lebih optimal,” kataku mengerucutkan pembicaraan.

“Tapi tetap saja tidak naik kelas, Bu,” Ziah ngotot.
“Bagaimana kalau Kita ubah pandangan Kita tentang tidak naik kelas. Tidak naik kelas bukan akhir dari segalanya. Einstein itu harus gagal berapa kali sebelum akhirnya berhasil menemukan bom atom? Kamu pasti tahu KFC, yang membuat resepnya adalah seorang kakek. Dan Ziah tahu, berapa kali ia menawarkan dagangannya sampai akhirnya ada yang mau beli ayam gorengnya? Puluhan kali atau bahkan ratusan kali. Tapi orang-orang ini tidak mau menyerah. Di Jepang, ada seorang laki-laki yang tidak punya kedua lengan dan kedua kaki. Tapi ia jago main basket dan pintar menulis. Ia merasa hidupnya tidak berakhir hanya karena tidak punya tangan dan kaki.“

Aku serasa tidak bisa menghentikan kalimat-kalimatku. Aku berharap Ziah paham. Kalau tidak sekarang mungkin nanti. Tak apa.

***

Rapat pleno kenaikan kelas. Setiap wali kelas menyampaikan laporan hasil belajar di kelasnya.
“Kelas 1-3, jumlah siswa 30. Yang memenuhi syarat kenaikan kelas 30 siswa. Yang tidak memenuhi syarat 0,” ucap pak Husain, wali kelas 1-3 mantap.
“Kelas 1-4, jumlah siswa 29. Yang memenuhi syarat kenaikan kelas 29 siswa. Yang tidak memenuhi syarat 0,” ucap bu Indah, wali kelas 1-4 mantap.

Giliranku. Ada gemuruh dalam dadaku. Kubaca basmallah, “Kelas 1-5, jumlah siswa 28. Yang memenuhi syarat kenaikan kelas 27 siswa. Yang tidak memenuhi syarat 1.”

Tanggulangin, 24 Juni 2007

Comments

Anonymous said…
Aku menunggug membaca cerpenmu
di Surabaya Post, SURYA, Seputar Indonesia, Koran Tempo, Republika, Jawa Pos, atau Kompas


Aku masih tercenung dengan "Sabra Satila"-mu yang dulu aku muat di "Eksis".

Selamat berkarya.
Anonymous said…
Bu Hernawati boleh minta konfrimasi? Apakah ibu kenal Rumah Autis dan pernah mengirimkan donasi? Ada donatur kami yang namanya persis dengan nama Ibu. Jika betul, kami ingin kirim laporan kegiatan/ keuanggan. Jika bukan, kami mohon maaf. terimakasih

deka (rumahautis.multiply.com)

Popular Posts