Menanti Pagi Kembali (I)

Sebenarnya aku bukan teman dekat Amanda. Kalau dihitung-hitung, tidak ada satu pun kesamaan hal di antara kami. Aku bertipe pendiam sementara dia jauh lebih terbuka. Pun minat kami jauh berbeda. Aku suka menenggelamkan diriku diantara buku-buku sementara dia lebih suka mengembangkan kecerdasaan interpersonalnya.

Amanda suka membangun relasi dengan orang lain. Ia seorang gadis yang fashion minded sementara aku penganut paham simple is elegant , alias memang aku tidak punya koleksi baju yang selalu berubah seiring berubahnya musim. Aku tidak suka sesuatu yang berlebihan. Bagi Amanda, ke kampus dengan bibir bergincu tebal adalah biasa. Bagiku, itu berlebihan.


Kalaupun ada satu hal yang mendekatkan kami hanyalah karena Amanda menjadi rekan kerja baruku. Lembaga di mana aku meluangkan separo waktuku untuk bekerja membutuhkan tenaga baru dan aku menawarkan padanya. Amanda benar-benar membutuhkan pekerjaan untuk menyambung kuliahnya, begitu katanya sehari sebelum aku membawa informasi pekerjaan tersebut. Begitulah. Setelah serangkaian tes dilakukan terhadap dirinya, ia diterima. Ia benar-benar berterima kasih padaku karena aku yang membawakan informasi pekerjaan tersebut.

Ketika di kampus, kami tidak sedekat ketika di kantor. Aku mempunyai sahabat sendiri, tentu saja, orang yang punya kesamaan minat denganku: buku. Amanda pun begitu. Dengan beberapa orang kelompoknya, ia suka berjalan-jalan ke Mall, makan-makan dan sesekali kongkow-kongkow dengan teman laki-laki. Biasanya mereka mahasiswa lain jurusan atau fakultas atau kakak tingkat satu jurusan dengan kami.

Aku? Paling-paling ke perpustakaan, meski sekedar membaca koran hari ini. Atau ke kantin, makan makanan dengan menu khas kantong mahasiswa. Paling apes, ngobrol di bawah pohon beringin yang sudah berusia puluhan atau bahkan ratusan tahun di depan aula kampus untuk menunggu waktu mata kuliah berikutnya.

Belum lagi yang namanya ketertarikan kepada lawan jenis. Amanda termasuk gadis yang berani. Beberapa kali ia tampak dekat dengan laki-laki yang berbeda. Sepertinya ia tipe petualang. Sementara aku, jatuh cinta saja tidak berani. Kalau dipikir sebenarnya bukan masalah berani atau tidak, melainkan baik atau buruk yang menjadi pertimbanganku. Kami benar-benar berbeda. Dan aku benar-benar mensyukuri keputusanku untuk berhati-hati dalam hal ini karena di kemudian hari kudapati hal inilah yang menyelamatkan kehidupan seorang gadis, dan bahkan hidup orang lain.

***
November yang basah. Sisa-sisa hujan tadi malam masih terlihat di aspal jalanan. Sebagian membentuk genangan di sana-sini. Bunga-bunga bougenvil ungu, pink dan putih saling bermekaran dalam satu tempat. Berjajar di sepanjang jalan menuju kampus. Membawa nuansa pagi yang segar. Rupanya sang gardener kampus menyilangkan bunga ini sedemikian rupa sehingga pemandangan yang tercipta sungguh luar biasa, penuh harmoni.

Sebaliknya, aku terburu-buru. Kali ini karena angkot yang kutumpangi harus berhenti lama sekali untuk mencari penumpang. Aku yang sudah berangkat kesiangan harus mentolerir nasib sopir yang tidak dapat penumpang. Jadinya, dengan setengah berlari-lari kecil aku berusaha mencapai kampusku agar tidak terlambat, meski itu mustahil. Jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 07.15, berarti 15 menit sudah aku terlambat.

Karena terlalu serius dengan langkahku, aku tidak mendengar ketika seseorang turun dari Katana silver menyapaku. Tepat di depan gerbang fakultas.
“Terlambat ya Dhan?” tanyanya.
“Ya nih, 15 menit,” jawabku seraya melihat siapa yang menyapaku. Amanda. Kulirik laki-laki di belakang kemudinya. Masih muda, meskipun tidak tampak sebagai mahasiswa. Amanda bersay good bye kepada laki-laki ini.

Kualihkan perhatianku dan langsung menuju ruang kuliah. Amanda terburu-buru menjajari langkahku. Aku tidak perlu menanyakan siapa laki-laki di dalam Katana tadi karena pertama, aku tidak dekat dengan Amanda sehingga bukan urusanku kalau ia pergi dengan laki-laki itu. Kedua, aku sedang konsen menuju ruang kuliah Pak Besar, dosen killer itu. Dan benar, pintu sudah tertutup. Itu artinya perkuliahan sudah dimulai. Aku menata hati, sebenarnya sih menyiapkan jawaban yang tepat atas pertanyaan pak Besar. Amanda tampak biasa-biasa saja.

***

Kejadian di jam pertama tadi membuat semua aktifitasku tidak karuan. Pak Besar meminta kami menemuinya. Ternyata hari ini ada sekitar sepuluh mahasiswa yang terlambat, termasuk aku dan Amanda. Dan itu rekor tersendiri di kelas Phonology Pak Besar. Sebagai konsekuensinya, kami harus mencari buku-buku yang terkait dengan materi hari ini dan mereviewnya. Waktu yang diberikan hanya dua hari.
Untunglah aku mempunyai sahabat yang minat pada Phonology begitu besar. Nana, demikian nama sahabatku. Ia bersedia menemaniku mencari buku yang dimaksud. Begitu jam ketiga kosong, tempat pertama yang kutuju adalah perpustakaan.

Pagi ini perpustakaan sedang lengang. Hanya ada beberapa orang mahasiswa tingkat akhir sedang menekuni buku-buku tebal di depannya. Biasanya aku selalu menuju ke ruang majalah dan surat kabar karena di situ tempatnya nyaman. Kami duduk di karpet merah yang bersih ditemani beragam surat kabar dan majalah terbitan lokal sampai internasional. Mungkin ke sana menjadi pilihan kedua setelah menyelesaikan tugas pak Besar hari ini.

Aku dan Nana segera mencari buku yang dimaksud. Nana sangat cekatan menjelajah buku demi buku setelah mendapatkan datanya dari katalog. Aku sih nurut saja karena memang ia jagonya. Aku lebih berminat pada sastra sementara Nana lebih suka pada Linguistik.
Ketika sedang membuka-buka buku, tak sengaja mataku bersirobok dengan seseorang yang begitu kukenal. Amanda. Ia sedang berjalan masuk ke ruangan ini bersama dengan seorang laki-laki. Tapi siapa laki-laki itu? Sepertinya orang yang sama dengan yang kulihat pagi tadi di dalam Katana.
“Hai Dhan, sedang cari tugas pak Besar ya?” sapanya.
“Yap, kamu?”
“Ya samalah. Yok ya,” katanya tanpa mengenalkan laki-laki di belakangnya. Aku segera tenggelam dengan bacaanku.

Comments

Popular Posts