Menanti Pagi Kembali (II)

Aku tidak menaruh perhatian khusus kepada Amanda. Bukan karena aku tidak punya rasa empati yang tinggi tapi kami memang disibukkan dengan urusan masing-masing. Seperti dia, aku pun harus bekerja paroh waktu untuk kelancaran kuliahku. Orang bilang agar kita bisa mandiri namun jujur saja kami memang orang kecil yang bercita-cita tinggi.

Kalau tidak diakali dengan bekerja, rasanya kami tidak mampu membiayai foto kopi materi atau diktat kuliah. Belum lagi biaya hidup di kota besar ini. Itulah mengapa sebagian besar mahasiswa di sini sudah bekerja paroh waktu. Dan itu menjadi kebanggaan bagi kami.


Kembali ke Amanda, seperti kubilang tadi, aku tidak pernah menaruh perhatian khusus kepadanya sampai terdengar berita kalau ia menjalin hubungan khusus dengan suami orang.

Seandainya yang membawa berita itu bukan Tina, sahabat dekat Amanda mungkin aku tidak percaya. Tapi ini Tina, salah satu dari lima sekawan (Tina, Amanda, Rinta, Selvy dan Indah), dan ia memintaku khusus membicarakan masalah ini. Berdua saja. Lalu apa hubungannya denganku? Aku bukan geng mereka. Semua ini membuatku bingung.

“Dhan, Amanda is in trouble, “ katanya.
Trouble apa?” tanyaku
“Kamu tahu, laki-laki yang biasa antar-jemput dia. Yang pakai Katana silver, yang selalu menunggunya kuliah?”
“Ya…. ,” sahutku tak yakin,”
"Tahu bagaimana?”
“Menurut kamu, dia itu cocok nggak sebagai mahasiswa?”
“Memangnya kenapa kalau bukan mahasiswa?” tanyaku bodoh.
“Dhan, orang ini telah merampas kehidupan Manda,”
“Maksudmu?”

“Sejak Manda kenal laki-laki ini, ia jarang berkumpul dengan kami. Setelah kuliah, mereka langsung cabut. Bahkan diantara jam kuliah, ia menungguinya seolah-olah Manda itu miliknya, “
Tina berapi-api terbakar cemburu.
“Memangnya kamu tidak tahu siapa laki-laki itu?” tanya Tina penuh selidik.

Aku hanya mengangkat bahu.

“Kalau di tempat kerja, gimana? Apa laki-laki itu juga sering nongkrongin Manda?”
“Kayaknya enggak tuh. Tapi entahlah… karena jam kerja kami berbeda. Setelah aku selesai urusanku ya langsung pulang sehingga meskipun kami satu kantor jarang ketemu juga.”

“Kamu tahu Dhan, Mas Andi, nama laki-laki itu, membuat Manda tidak punya kesempatan bersama kami lagi. Percaya nggak, kemarin Manda mengatakan ia harus meninggalkan kehidupan hura-huranya. Ia harus mencoba lebih serius lagi menghadapi kehidupan ini. Lebih parah lagi, Mas Andi itu sepertinya sudah punya keluarga,” kata Tina berapi-api. “Ah, yang benar??” tanyaku tak percaya.

“Aku sendiri sudah curiga sejak pertama kali melihatnya. Potongannya itu lo, nggak mahasiswa banget,” kata Tina.

Aku hanya diam, tidak berani menduga-duga. Mungkin ini alasan Tina selalu menanyakan pertanyaan yang sama padaku apakah Andi pantas sebagai mahasiswa. “Tapi kamu dapat berita itu darimana?” “Ya, feelingku aja,” jawabnya dengan mudah. Ah, ternyata cuma feeling Tina.

***
Hari ini ada meeting semua staf. Itu berarti aku akan bertemu Amanda setelah sekian lama tidak berjumpa. Ia jarang kelihatan di kampus. Kalaupun kelihatan pasti hanya di dalam ruang kuliah, selebihnya ia akan menghilang. Tentu saja dengan Andi, laki-laki misterius yang selalu setia mengantar, menunggui untuk kemudian cabut dengan Katana silvernya. Sepertinya Tina benar. Andi telah mengambil Amanda dari komunitasnya. Sementara Amanda tampak sangat menikmatinya.

“Hai, “ tepukan di bahuku membuyarkan lamunanku. Amanda memamerkan senyum di bibirnya yang penuh oleh gincu merah tua. Setua warna blus yang dikenakannya.

“Hai, gimana kabarnya? Rasanya lama sekali tidak bertemu,” kataku menyambut salamnya. “Baik-baik aja,” jawabnya,” Dhan, aku ingin ke rumahmu, boleh?”

“Why not? Kapan?” tanyaku kemudian.
“Setelah meeting ini, “ jawabnya datar.
“Tidak ada yang menjemputmu?”tanyaku memastikan Amanda hanya menggeleng, “ Itu pun kalau kamu nggak ada agenda keluar,” Aku tersenyum dan menggeleng.

Begitulah. Selepas meeting, Amanda akhirnya ke rumahku. Kami naik angkot. Jarak kantor ke rumahku memang tidak begitu jauh. Sepanjang perjalanan kami bercerita apa saja. Mulai dari kuliah sampai urusan kantor. Sebenarnya sih Amanda yang banyak mendominasi cerita.

Kebetulan, aku memang ingin menjadi pendengar yang baik. Barangkali dengan hanya mendengarkan saja aku bisa menyelami apa yang sedang bergayut dalam diri gadis yang pernah menjadi wakil senat mahasiswa ini. Kutangkap selintas ada galau di matanya meski senyum Amanda tidak pernah lepas dari bibir bergincu merah tua itu.

“Benar kamu nggak ada acara, Dhan?” tanyanya setelah sadar aku hanya mendengarkan saja.
“Nggak,” jawabku pendek
“Akhir pekan seperti ini aku lebih santai. Nggak ada kuliah, kerjaan juga nggak banyak. Jadi aku lebih banyak waktu buat diriku sendiri.”
“Pacar?”tanyanya.

Aku cuma tersenyum. Bagiku tidak ada kosa kata pacar. Yang ada hanyalah bagaimana menyelesaikan kuliahku dengan baik, kemudian bekerja baru menikah. Sekali lagi, menikah! Dan bukan pacaran. Mungkin aku kolot tapi menurutku itu yang lebih logis. Aku tidak percaya dengan komitmen orang berpacaran.

Bagaimana hal itu disebut baik jika relasi lawan jenis yang belum diikat oleh hukum manapun sudah berani melangkah sedemikian jauhnya. Apa sih yang dilakukan oleh pasangan yang berpacaran? Ngeri rasanya melihat fenomena anak muda sekarang dalam berpacaran. Dan aku tidak mau ambil bagian dalam dosa publik seperti itu.

Comments

Popular Posts