Warung Mami
Mungkin aku terlalu parno.
Safir memberitahu abinya kalau ia mau ikut lomba. Kompetisi
game. Kalau tidak salah Mobile Legend.
Game tersebut banyak digandrungi orang lintas usia, mulai anak-anak sampai
orang tua. Bukan Safir namanya kalau informasi yang diberikan cukup jelas bagi
kami. Ia selalu begitu. Menginfokan sesuatu sepotong sepotong.
Pokoknya lomba. Berkelompok. Tempat di Warung Mami. Bayarnya
sekian.
“Siapa yang ngadakan, Mas?Ada pemberitahuannya ta?Brosur
atau formulir?” tanyaku ketika secara tidak sengaja kumendengar percakapan
mereka.
“Ada, Mik,” jawabnya pelan.
Satu hal yang mengganjal di pikiranku. Kosa kata mami.
Sebenarnya mami
ini panggilan untuk ibu. Sama seperti bunda, mama, umi, uma. Namun, dari
beberapa bacaan yang kuserap, mami mempunyai pergeseran makna ke arah negatif.
Ia biasa digunakan para PSK untuk memanggil induk semangnya dengan mami. Maka, makna itulah yang menempel
di pikiranku saat ini.
Rasanya wajar saja aku mengkhawatirkan Safir. Ia anak yang
masih polos. Remaja yang baru menginjak dunia SMA. Maka, aku mencecar
pertanyaan tentang lomba yang diadakan di warung mami. Seperti biasa, jabrikku
itu tidak bisa menerangkan dengan gamblang jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
tersebut.
***
“ Safir, ayo umi antarkan daftar lombanya, ”kataku di suatu
sore.
Hari ini pendaftaran terakhir. Maksudku, penyerahan uang
pendaftaran. Safir sudah mendaftar online. Ia hanya perlu mentransfer uang
sebenarnya. Tapi, ya itu tadi... kekhawatiran memaksaku mengambil tindakan
untuk mengantarkannya membayar secara off line. Menurutku, itu satu-satunya
cara mengetahui dengan jelas lomba apa sebenarnya acara tersebut.
“Umi mau antar aku?” tanya Safir tak percaya. Matanya
membulat.
“Ya, kenapa? Mas Safir malu diantar umi?” tanyaku
kemudian.
Ia tampak ragu menjawab.
“Malu? Umi lo cantik, “ kataku memecah kesunyian.
Aku yakin alasannya bukan hal di atas. Barangkali ia malu
karena sudah SMA masih diantar orang tuanya.
“Nggak gitu, Mik, “ jawabnya.
“Okelah, umi nanti nunggu di parkiran. Safir yang ke dalam, “
tawarku, “ Sudah sana, segera ganti kaos dan celana, “ pintaku.
Safir tidak banyak membantah. Segera saja ia lari ke
belakang, mencari kaos dan celana yang cocok. Aku membuka google maps, mencari lokasi warung Mami. Memastikan arah yang akan
kami tempuh. Tidak lama kemudian Safir muncul.
Dengan Mio merahku, kami membelah jalan A. Yani arah Surabaya.
Sesampainya di RSI kami berputar, balik arah menuju ke A. Yani arah Sidoarjo, menuju
RSAL dan Maspion Square. Warung Mami tepat
di pinggir Maspion Square.
Seorang lelaki tua memintaku memarkir Mio di sebelah timur
warung ini. Kuturuti perintahnya.
“Gimana, Fir, Umi masuk atau menunggu di parkiran?” tanyaku.
“Masuk, aja Mik,” jawabnya.
“Oke. Umi mau pesan minum, Safir mencari tempat
pendaftarannya ya, “ kataku kemudian.
Warung Mami ini jauh dari prasangkaku. Tempatnya di tempat
terbuka, cukup luas juga. Banyak mahasiswa sedang duduk-duduk di sayap kiri.
Bergerombol. Beberapa membentuk kelompok-kelompok kecil. Berdiskusi mungkin.
Ada beberapa orang dewasa di sayap kanan warung. Beberapa
ibu-ibu dan bapak-bapak di beberapa meja terpisah. Mereka sedang menikmati kopi
susu panas. Aku berkeliling, melihat-lihat menu yang tersedia. Makanan dan
minuman ringan yang banyak. Aku memesan juz jambu merah di kasir. Safir sudah
berada di belakangku. Ia memesan juz mangga. Selain itu, aku memesan pisang
goreng keju. Kubayar sesuai menu yang kuminta. Petugas segera memberiku nomer
meja.
Ketika sampai di meja, Safir bercerita kalau petugasnya
belum ada. Kuminta ia menelpon panitianya. Safir keberatan dan merasa ia berada
di tempat yang salah.
“Mungkin ini tempatnya salah ya, Mik,” katanya.
“Salah gimana?Memang ada warung mami yang lain?Katanya
lokasinya di sini? “ tanyaku mulai tak sabar.
“Ya, alamatnya di sini sih, “ jawabnya kemudian.
“Coba kamu telpon kontak personnya, Mas,” pintaku. Aku
berusaha menyabarkan diri.
Safir mencoba menelpon nomor yang diberikan panitia. No
respon.
“Coba Umi yang telpon,” kataku.
Safir mulai kelihatan tidak suka dengan sikapku. Aku meminta
nomor tersebut dan mulai menelponnya.
No respon.
“Ini, Mik. Sudah ada jawaban di WA. Orangnya masih salat, “ kata
Safir.
“Ok. Kita tunggu di sini. Ngobrol sama umi sambil nunggu
pisang goreng datang,” ujarku kemudian.
Tidak lama kemudian pesanan kami datang. Orang yang Safir
tunggu pun datang. Ada dua orang anak muda. Seorang laki-laki dan seorang gadis
cantik berjilbab. Mereka mengenalkan diri mahasiswa UPN. Jadilah aku
bertanya-tanya.
“Penyelenggara lombanya siapa ya Mbak?” tanyaku pada gadis
berhijab tersebut.
“Kami, tante. Mahasiswa UPN jurusan Informatika. Jadi, lomba
ini semacam tugas dari dosen untuk menyelenggarakan event seperti ini,”
jelasnya.
Aku baru paham.
“Banyak Mbak pesertanya?” tanyaku lagi.
“Lumayan, tante. Ada yang dari mahasiswa dan adik-adik SMA,”
jawabnya.
“Adik kelas berapa?” tanya mahasiswa yang putra.
“Kelas 1, “ jawab Safir.
“Harus semangat ya dek, “ katanya.
Safir tersenyum tipis dan mengangguk. Safirku itu sangat
pemalu di depan orang banyak.
Ploong.... rasanya. Ternyata kekhawatiranku tidak terwujud.
Bahwa lomba ini benar-benar legal. Penyelenggaranya jelas. Eventnya jelas. Tidak
sia-sia pengorbananku mengantar Safir hari ini. Meskipun lelah aku merasa
senang.
Semoga sukses anakku
Labels: catatan harian, jabrik
4D Theater, A Very Late Post
“Ayo nonton film, bi,” pinta Enji sambil menunjuk gedung
yang tepat di hadapan kami saat ini. Gedung ini berdampingan dengan arena Go
cart.
Abi memesan 4 tiket untuk nonton film 4D. Aku sebenarnya
bertanya-tanya dalam hati, apa bedanya bioskop 3 dimensi dan 4 dimensi ini. Per
tiket 15 ribu rupiah. Aku lupa judul filmnya. Yang pasti film anak-anak, film
kartun. Kalau tidak salah tentang
petualangan Billy, seekor burung. Setelah menerima tiket, segera kami menuju
gedung bioskopnya. Petugas penjaga pintu memberi kami kaca mata khusus untuk
menonton film jenis ini. Keseluruhannya berwarna hitam.
Saat memasuki gedung teaternya masih belum ada penonton.
Hanya kami berempat. Kami harus menunggu penonton lainnya. Ruangan ini lumayan
luas. Kami mengambil baris ketiga dari depan layar. Mencoba mengenakan kaca
matanya dan berfoto ria. Salman duduk di antara abi dan aku, sementara Enji
duduk di samping kiriku. Kami saling bergaya di depan kamera.
Tidak lama kemudian, datanglah serombongan penonton lainnya.
Setelah dirasa cukup maka para petugas pemberi kaca mata tadi menutup pintu.
Tandanya, film akan segera diputar. Kami segera melakukan persiapan. Duduk
senyaman mungkin sambil menikmati apa yang ditayangkan di layar.
Dalam layar ditampilkan pemandangan yang sangat indah
sebagai pembuka. Beragam pepohonan menghijau dan bunga-bunga. Kupu-kupu sedang
bekejar-kejaran. Nah, ini yang istimewa. Teknologi 4D memungkinkan kupu-kupu
tersebut tidak hanya terbang di dalam layar. Mereka seolah-olah terbang di
sekitar kita. Beberapa kupu-kupu melaju menuju para penonton sehingga kami
menangkupkan tangan untuk sekadar menangkapnya. Enji sampai berdiri untuk
menangkap kupu-kupu biru yang cantik. Ia tertawa-tawa ketika tahu bahwa yang
ditangkap hanyalah udara.
Bunga-bunga bermekaran. Berwarna-warni. Binatang-binatang
kecil melompat ke sana ke mari. Kupu-kupu masih bermain-main ringan. Kalau yang
kubaca, teknologi 4D mampu menghadirkan tidak saja gambar yang realistis, efek
hujan, awan, salju, tetapi juga efek scent
atau bebauan benda yang ditampilkan. Jika yang ditampilkan di layar gambar
bunga mawar, maka penonton akan mampu membau aroma mawar yang wangi. Tidak di
sini. Mungkin karena membayarnya tidak semahal di bioskop 4D aslinya sehingga
efeknya dikurangi. Hehehe...
Muncullah dua ekor burung sedang bercakap-cakap. Rupanya
sang induk sedang menjelaskan kepada anaknya kalau sebentar lagi musim
berganti. Tandanya mereka harus melakukan migrasi. Sang anak yang ternyata
bernama Billy mendengar dengar seksama mengapa mereka harus melakukan
perjalanan. Aku tidak mengenali burung jenis apa si Billy ini. Setelah
kubrowsing di internet, tampaknya ia sejenis burung jenjang.
Memang, banyak burung melakukan migrasi tiap tahunnya.
Mereka berkelompok berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Biasanya dari
Utara ke Selatan. Perjalanan migrasi ini bisa panjang dan lama. Bahkan
melintasi samudera. Karena itu migrasi menjadi perjalanan yang membahayakan.
Belum lagi ketika dihadang oleh badai dan hujan. Burung bermigrasi ini bisa
jadi karena pengaruh musim. Ketika musim gugur, misalnya, mereka harus pindah
karena jumlah makanan yang tersedia tidak mencukupi. Istimewanya, burung ini
akan kembali ke tempat asalnya jika musim sudah berganti.
Perjalanan Billy dan rombongan sampailah pada suatu malam. Malam
tersebut diseliputi mendung tebal. Hawa dingin segera menampar Billy. Serabut-serabut
awan bertebaran di sekeliling penonton
bersama hadirnya hawa dingin di ruangan ini.
Tiba-tiba turunlah hujan.
“Mik, hujan Mik... basah,” teriak Enji.
“Mama... mama...hujan..., ” teriak anak kecil yang duduk
tepat di belakangku.
Aku tersenyum sendiri ketika kurasakan ada semburan air yang
membasahi jilbabku. Lucu juga.
Singkat cerita, Billy sedikit nakal. Merasa dirinya sudah
besar, iIa mencoba memisahkan diri dari rombongan. Tiba-tiba ada seekor elang
yang terbang menukik ke arahnya. Suasananya begitu mencekam. Elang ini terbang meliuk-liuk
dengan cepatnya menuju...... penonton.
“Aaarrrrrh......, “ teriak para penonton.
“Awaaaaaas.....,” teriak penonton di belakangnya.
Setelah itu derai
tawa mengikutinya.
Ibu Billy yang tahu putranya dalam bahaya segera melakukan manuver balik. Ia
menolong Billy dan menyelamatkannya.
“Billy, lain kali jangan berpisah dengan rombongan, Nak.
Terlalu berbahaya, “ nasehat ibunya.
“Maafkanlah, Billy, ibu,” rajuk Billy.
Akhirnya keduanya bergabung kembali dengan rombongannya.
Sampailah mereka ke tempat yang dituju. Tempat yang indah seindah kecantikan
tropis. Bunga-bunga bermekaran kembali, burung-burung berterbangan, kupu-kupu,
semut-semut, ulat semua bergembira. Kegembiraan dilengkapi dengan bubble yang
diguyurkan di kursi penonton. Enji, Salman, berdiri melompat-lompat menangkap
bubble dengan riangnya.
Labels: catatan harian, salmanmondok
Stasiun Malang Kota Baru
Akhirnya KA sampai di Malang setelah 2 jam lebih perjalanan.
Kami turun di stasiun Malang Kota Baru. Karena ini pertama kalinya kami turun
di stasiun ini kami coba mengikuti penumpang di depan. Ternyata turun dari KA
kami harus menuruni tangga kemudian naik tangga kembali. Baru kemudian kami
dapati sedang berada di pintu keluar KA. Banyak orang berjualan di sisi kanan
dan kiri pintu ini. Di depannya tempat parkir sepeda motor. Agak ke depan
rupanya terminal sementara. Banyak angkutan
kota mangkal di situ. Kata abi, itu lin DPL. Angkot itu menuju ke terminal
Landungsari. Dari Landungsari, ada lin lagi menuju ke Dau.
Enji minta dibelikan Roti ‘O. Kami langsung menuju ke counter-nya. Ada dua pembeli di depanku.
Ternyata mereka hanya membeli minuman. Penjaga stand segera meresponku.
“Roti 3, mas,” pintaku sambil kuulurkan 3 lembar uang
puluhan ribu dan selembar 5 ribuan. Aku sudah melirik harga yang terpampang.
Per bijinya 11 ribu rupiah.
Dia mengangguk. Menerima uangku dan memasukkan ke tempatnya.
Dengan cekatan dibukanya kantung kertas berwarna kuning dan memasukkan satu
demi satu roti ke masing-masing kantung. Ia mengarahkan kantung-kantung
tersebut ke arahku. Kemudian dia memberikan uang dua ribuan sebagai kembalian
uangku.
Raut muka Enji tampak sumringah. Diambilnya satu kantung,
dibuka, dan dicicipinya roti berbau khas tersebut. Abi segera mengajak kami
makan siang. Kami menyebrang dan menemukan banyak pilihan warung makanan. Ada
yang duduk di kursi aluminium memanjang, ada juga yang lesehan. Aku memilih
lesehan. Santai. Kami duduk di atas karpet berwarna merah. Berhiaskan daun dan
bunga-bunga kecil yang jatuh dari pohonnya. Lesehan sebelah kini sudah dipenuhi
banyak pengunjung. Ada para mahasiswa, ada pekerja kantoran, barangkali ada
yang seperti kami, para musafir.
Di depan atau di belakang tempat duduk lesehan yang digelari
karpet ini ada play ground. Kulihat
beberapa anak bermain-main jungkat-jungkit, ayunan, prosotan, dan lainnya. Di
sisi lain, tampak orang tua mereka mengawasi. Enji segera membisikiku kalau
setelah makan akan ikut main ayunan. Aku mengiyakan saja.
Hemmm... makan apa ya? batinku. Banyak pilihan semakin
membingungkan. Ada nasi rawon, soto, pecel, ikan bakar, asem-asem iga. Buanyak
pokoknya. Enji sudah memesan nasi dan
mujair goreng. Abi lebih memilih tempe penyet dan telur sepertinya. Aku tidak
tahu pasti karena ia memesan di tempat yang terpisah dengan kami. Setelah
kutimbang-timbang, akhirnya aku malah memilih rawon. Aku ini sangat tidak
kreatif dengan makanan. Sepertinya kemana pun perginya, kembalinya selalu ke
nasi rawon. Entahlah ....
Sambil menunggu, Enji menghabiskan Roti ‘O. Matanya
mengerjap-kerjap indah. Bungsuku ini selalu ceria. Setelah roti habis
disantapnya, dikeluarkanlah sebungkus nori yang dibawanya dari rumah.
Rencananya, ia akan membungkus nasi yang dipesannya dengan nori, mencocolnya
dengan sambal, memakannya bersama mujair yang garing dan gurih.
Makanan yang kami pesan akhirnya datang juga. Abi segera
melahap nasi pesanannya. Pun dengan Enji. Mujairnya ok. Sambal di atas cobek
kecilnya juga lumayan. Rawonku datang yang paling akhir. Walaah... ternyata
dari penampilannya, rawonku kurang menarik. Aku tersenyum kecut. Sebagai
pecinta rawon aku bisa membedakan mana rawon yang enak dan tidak. Sepertinya
ini termasuk yang kedua. Warnanya kurang hitam. Kurang panas juga. Kulihat
tidak ada kepulan asap panas di atas nasinya. Aku sedikit kecewa tapi bagaimana
lagi sudah kupesan. Aku harus bertanggung jawab.
“Kenapa, Mik?” tanya abi sambil menyelidiki mimik mukaku.
“Gak pa pa,” jawabku sambil menyuapkan sesendok nasi ke
mulut.
“Gak enak ya?” tanya abi lagi. Kali ini ia sedikit berbisik.
“Heem....,” kataku tak kalah pelannya. Takut terdengar sang
penjual.
Sementara itu kulihat Enji dengan santainya menikmati
mujairnya. Mencocolkan ke sambal. Abi malah sampai berkeringat menikmati tempe
penyetnya.
“Umik mau?” tanya Enji sambil membawa sekepal nasi dan
mujair.
Aku segera menggeleng, tersenyum, dan kembali ke nasi
rawonku. Harus kuhabiskan.
Abi mengakhiri makannya dengan bersendawa. Enji masih
menyisakan sedikit nasi, mengeluarkan nori dan membungkus nasi dengannya. Memasukkan
ke mulutnya.
***
“Mik, gak pengin coba naik lyn itu ta?” tanya abi sambil
mengarahkan telunjuknya ke angkot berwarna biru putih.
“Iya, Mik. Ayo mik,” ajak Enji. Ia paling suka kalau diajak
keluyuran.
“Turun di..?” tanyaku kemudian.
“UMM,” kata abi kemudian, “ Dari UMM kita nge-Grab, “
“Oke,” jawabku santai. Sudah lama juga aku tidak mbolang.
Abi segera menuju ke salah satu sopir yang ngetem. Ia
memastikan bisa turun di UMM. Sopir mengiyakan dan meminta kami bertiga masuk
ke angkot. Segera ia menghidupkan mesin dan angkot melaju dengan sempurna.
Karena penumpangnya hanya kami bertiga, Enji bisa leluasa memainkan HP.
Memotret kami berdua, selfie bertiga, dan membuat video dengan aplikasi
Snow-nya.
Aku menikmati suasana kota Malang di siang bolong. Jalan-jalan
rapi dan indah. Apalagi ketika melewati jalan Ijen boulevard. Wah...mataku
serasa dimanjakan. Jalan Ijen adalah jalan kembar yang dipisahkan oleh taman
bunga dengan rumput hijau yang segar. Adem. Di sisi kiri dan kanan jalan
ditumbuhi pohon palem yang kokoh. Trotoar yang lapang cukup memanjakan pejalan
kaki. Kursi-kursi cantik disediakan bagi pengguna jalan. Di sepanjang jalan
kulihat banyak orang memanfaatkan kursi taman tersebut. Ada yang duduk berdua,
ada yang sedang memainkan hapenya, memutar musik, ada yang tiduran.
Ijen dikenal juga sebagai kawasan wisata sejarah karena
banyak bangunan kuno peninggalan Belanda masih tersisa di sana. Salah satunya
yang sempat kulihat adalah perpustakaan kota Malang. Ada lagi ternyata, gereja
tua. Kawasan ini menyimpan spot bagus untuk berfoto. Banyak rumah-rumah kuno
ala Belanda yang sekarang peruntukannya berubah sebagai guest house bagi para wisatawan.
Pak sopir mengingatkan sebentar lagi kami akan sampai di
terminal. Kami harus berjalan beberapa meter untuk sampai di UMM. Sebelum ke
UMM, kami mampir untuk menunaikan salat Asar. Aku sendiri sedang berhalangan
sehingga harus menunggu abi dan Enji salat. Kami salat di mushola yang
tempatnya pas di pintu masuk terminal. Tempat salat untuk akhwat ada di lantai
2. Jadi, aku mengantar Enji ke atas.
Setelah selesai salat, kami semua melanjutkan perjalanan ke
pondok dengan Grab.
Labels: catatan harian, salmanmondok