Stasiun Malang Kota Baru


Akhirnya KA sampai di Malang setelah 2 jam lebih perjalanan. Kami turun di stasiun Malang Kota Baru. Karena ini pertama kalinya kami turun di stasiun ini kami coba mengikuti penumpang di depan. Ternyata turun dari KA kami harus menuruni tangga kemudian naik tangga kembali. Baru kemudian kami dapati sedang berada di pintu keluar KA. Banyak orang berjualan di sisi kanan dan kiri pintu ini. Di depannya tempat parkir sepeda motor. Agak ke depan rupanya terminal sementara.  Banyak angkutan kota mangkal di situ. Kata abi, itu lin DPL. Angkot itu menuju ke terminal Landungsari. Dari Landungsari, ada lin lagi menuju ke Dau. 

Enji minta dibelikan Roti ‘O. Kami langsung menuju ke counter-nya. Ada dua pembeli di depanku. Ternyata mereka hanya membeli minuman. Penjaga stand segera meresponku.

“Roti 3, mas,” pintaku sambil kuulurkan 3 lembar uang puluhan ribu dan selembar 5 ribuan. Aku sudah melirik harga yang terpampang. Per bijinya 11 ribu rupiah. 

Dia mengangguk. Menerima uangku dan memasukkan ke tempatnya. Dengan cekatan dibukanya kantung kertas berwarna kuning dan memasukkan satu demi satu roti ke masing-masing kantung. Ia mengarahkan kantung-kantung tersebut ke arahku. Kemudian dia memberikan uang dua ribuan sebagai kembalian uangku. 

Raut muka Enji tampak sumringah. Diambilnya satu kantung, dibuka, dan dicicipinya roti berbau khas tersebut. Abi segera mengajak kami makan siang. Kami menyebrang dan menemukan banyak pilihan warung makanan. Ada yang duduk di kursi aluminium memanjang, ada juga yang lesehan. Aku memilih lesehan. Santai. Kami duduk di atas karpet berwarna merah. Berhiaskan daun dan bunga-bunga kecil yang jatuh dari pohonnya. Lesehan sebelah kini sudah dipenuhi banyak pengunjung. Ada para mahasiswa, ada pekerja kantoran, barangkali ada yang seperti kami, para musafir. 

Di depan atau di belakang tempat duduk lesehan yang digelari karpet ini ada play ground. Kulihat beberapa anak bermain-main jungkat-jungkit, ayunan, prosotan, dan lainnya. Di sisi lain, tampak orang tua mereka mengawasi. Enji segera membisikiku kalau setelah makan akan ikut main ayunan. Aku mengiyakan saja. 

Hemmm... makan apa ya? batinku. Banyak pilihan semakin membingungkan. Ada nasi rawon, soto, pecel, ikan bakar, asem-asem iga. Buanyak pokoknya. Enji sudah  memesan nasi dan mujair goreng. Abi lebih memilih tempe penyet dan telur sepertinya. Aku tidak tahu pasti karena ia memesan di tempat yang terpisah dengan kami. Setelah kutimbang-timbang, akhirnya aku malah memilih rawon. Aku ini sangat tidak kreatif dengan makanan. Sepertinya kemana pun perginya, kembalinya selalu ke nasi rawon. Entahlah .... 

Sambil menunggu, Enji menghabiskan Roti ‘O. Matanya mengerjap-kerjap indah. Bungsuku ini selalu ceria. Setelah roti habis disantapnya, dikeluarkanlah sebungkus nori yang dibawanya dari rumah. Rencananya, ia akan membungkus nasi yang dipesannya dengan nori, mencocolnya dengan sambal, memakannya bersama mujair yang garing dan gurih. 

Makanan yang kami pesan akhirnya datang juga. Abi segera melahap nasi pesanannya. Pun dengan Enji. Mujairnya ok. Sambal di atas cobek kecilnya juga lumayan. Rawonku datang yang paling akhir. Walaah... ternyata dari penampilannya, rawonku kurang menarik. Aku tersenyum kecut. Sebagai pecinta rawon aku bisa membedakan mana rawon yang enak dan tidak. Sepertinya ini termasuk yang kedua. Warnanya kurang hitam. Kurang panas juga. Kulihat tidak ada kepulan asap panas di atas nasinya. Aku sedikit kecewa tapi bagaimana lagi sudah kupesan. Aku harus bertanggung jawab. 

“Kenapa, Mik?” tanya abi sambil menyelidiki mimik mukaku.

“Gak pa pa,” jawabku sambil menyuapkan sesendok nasi ke mulut. 

“Gak enak ya?” tanya abi lagi. Kali ini ia sedikit berbisik. 

“Heem....,” kataku tak kalah pelannya. Takut terdengar sang penjual. 

Sementara itu kulihat Enji dengan santainya menikmati mujairnya. Mencocolkan ke sambal. Abi malah sampai berkeringat menikmati tempe penyetnya. 

“Umik mau?” tanya Enji sambil membawa sekepal nasi dan mujair. 

Aku segera menggeleng, tersenyum, dan kembali ke nasi rawonku. Harus kuhabiskan.
Abi mengakhiri makannya dengan bersendawa. Enji masih menyisakan sedikit nasi, mengeluarkan nori dan membungkus nasi dengannya. Memasukkan ke mulutnya. 

***
“Mik, gak pengin coba naik lyn itu ta?” tanya abi sambil mengarahkan telunjuknya ke angkot berwarna biru putih. 

“Iya, Mik. Ayo mik,” ajak Enji. Ia paling suka kalau diajak keluyuran. 

“Turun di..?” tanyaku kemudian. 

“UMM,” kata abi kemudian, “ Dari UMM kita nge-Grab, “ 

“Oke,” jawabku santai. Sudah lama juga aku tidak mbolang. 

Abi segera menuju ke salah satu sopir yang ngetem. Ia memastikan bisa turun di UMM. Sopir mengiyakan dan meminta kami bertiga masuk ke angkot. Segera ia menghidupkan mesin dan angkot melaju dengan sempurna. Karena penumpangnya hanya kami bertiga, Enji bisa leluasa memainkan HP. Memotret kami berdua, selfie bertiga, dan membuat video dengan aplikasi Snow-nya. 

Aku menikmati suasana kota Malang di siang bolong. Jalan-jalan rapi dan indah. Apalagi ketika melewati jalan Ijen boulevard. Wah...mataku serasa dimanjakan. Jalan Ijen adalah jalan kembar yang dipisahkan oleh taman bunga dengan rumput hijau yang segar. Adem. Di sisi kiri dan kanan jalan ditumbuhi pohon palem yang kokoh. Trotoar yang lapang cukup memanjakan pejalan kaki. Kursi-kursi cantik disediakan bagi pengguna jalan. Di sepanjang jalan kulihat banyak orang memanfaatkan kursi taman tersebut. Ada yang duduk berdua, ada yang sedang memainkan hapenya, memutar musik, ada yang tiduran. 

Ijen dikenal juga sebagai kawasan wisata sejarah karena banyak bangunan kuno peninggalan Belanda masih tersisa di sana. Salah satunya yang sempat kulihat adalah perpustakaan kota Malang. Ada lagi ternyata, gereja tua. Kawasan ini menyimpan spot bagus untuk berfoto. Banyak rumah-rumah kuno ala Belanda yang sekarang peruntukannya berubah sebagai guest house bagi para wisatawan. 

Pak sopir mengingatkan sebentar lagi kami akan sampai di terminal. Kami harus berjalan beberapa meter untuk sampai di UMM. Sebelum ke UMM, kami mampir untuk menunaikan salat Asar. Aku sendiri sedang berhalangan sehingga harus menunggu abi dan Enji salat. Kami salat di mushola yang tempatnya pas di pintu masuk terminal. Tempat salat untuk akhwat ada di lantai 2. Jadi, aku mengantar Enji ke atas.  
Setelah selesai salat, kami semua melanjutkan perjalanan ke pondok dengan Grab.








Comments

Popular Posts