Menanti Pagi Kembali (III)

Begitulah. Sore itu kuhabiskan bersama Amanda. Gadis manis bergincu tebal ini menceritakan semuanya kepadaku. Why me? Ah, aku tidak mau ambil pusing mengapa aku tempat curahan hatinya.

Dari bibirnya mengalirlah cerita tentang lelaki misterius yang telah merampas masa mudanya itu. Tentang bunga-bunga cinta yang bertaburan di mana saja ia melangkah. Senyumnya selalu merekah setiap ia menceritakan detil kehidupannya. Matanya melompat-lompat indah menggambarkan dunianya. Untunglah aku cukup realistis menanggapinya.


Aku beruntung masih dikaruniai logika untuk menimbang dan mengukur apa yang sampai di otakku. Kalau tidak, mungkin aku akan menautkan selaksa perasaan dan pasti cemburu berat demi mendengar kisah cintanya yang menurutnya sangat fantastik itu. Amanda bercerita tanpa memberikan jeda. Aku mendengar penuh khidmat dan tidak ingin mengajukan pertanyaan secuil apapun sampai ia pada suatu klimaks

’’Tapi aku merasa ada yang berubah dengan teman-teman segankku Dhan, aku merasa mereka telah menjauhiku,“ katanya kemudian.
’’Apa tidak sebaliknya?“ pancingku.
’’Maksudmu?“
’’Ya, menurut mereka kamu yang semakin jauh. Kamu tidak pernah lagi kumpul-kumpul dengan mereka. Begitu selesai kuliah, kamu cabut dengan kekasihmu itu,”
’’Iya juga sih. Dhan, ada satu hal yang aku rahasiakan dari kalian semua,“ kali ini mimiknya lebih serius. Begitu cepatnya dunia ini berubah, batinku.

Amanda menekuk kepalanya dan tampak berhati-hati. Ia sangat bersusah payah untuk memulainya. Aku mulai mencium hal yang kurang bagus. Semoga hanya perasaanku saja.

’’Dhan, Mas Andi itu sudah berkeluarga,“ katanya lirih. Glek, aku menelan ludah.
Ternyata benar.
’’Tapi aku nggak mau menyerah!” Aku kaget.
’’Maksudmu?“ tanyaku tak paham.
’’Menurutmu apa aku salah memperjuangkan cintaku? Mas Andi bilang ia tidak bahagia dengan pernikahannya. Sebenarnya istrinya itu jauh lebih cantik dariku tapi ia tidak bisa mengimbangi ketika Mas Andi mengajaknya berdiskusi tentang banyak hal. Maklum saja, ia hanya lulusan SMA dan mereka dijodohkan,”

“Bull shit!!” komentarku.
’’Berapa anaknya?“
’’Dua dan istrinya sedang mengandung anak ketiga,“ jawabnya enteng.
’’Gila kau!!!“ kataku
’’Dengar dulu, ’’katanya tidak mau kalah.
’’Mas Andi itu baik, Dhan. Ia bersedia mengenalkan aku padanya. Nanti kalau tiba waktunya ia akan mengenalkan aku pada istrinya itu. Aku tidak akan mundur, Dhan, meskipun harus jadi istri kedua.“

Aku tidak tahan lagi. Kepalaku pusing. Amanda benar-benar telah dibutakan oleh cinta, sebuah jerat yang dipasang seorang laki-laki dua putra, mau tiga bahkan.

’’Pikirkan lagi masak-masak, Non. Kamu ini sedang dilanda cinta, mabuk asmara. Semua yang di dekatmu pastilah menawarkan pesona. Sekarang aja kamu sudah nggak tertarik lagi dengan dunia kampus, rapat-rapat senat selalu kamu tinggalkan. Kuliah-kuliah pun, jarang kutemukan dirimu. Atau kalau tidak, selesai kuliah kamu cabut dengan katana silvernya. Ingat, masa depanmu masih panjang. Kita masih semester lima,” pintaku serius. Amanda mendengarkan seperti anak kecil dimarahi oleh ayahnya.

’’Okelah kalau itu masukanmu, “ katanya kemudian.
“Tapi agama kita kan nggak melarang lelaki berisitri lebih dari satu?” protesnya.
“Aku setuju tapi jalan itu ditempuh karena berbagai sebab dan persyaratan tertentu. Kalau sebabnya hanya karena istri tidak nyambung diajak bicara terus kawin lagi, ya .. itu nggak syar’i. Apalagi kemudian pacaran dengan mahasiswi sementara istri di rumah menanti-nanti, dalam kondisi hamil, Nda. Sekali lagi think twice, Non!“

“Kalau kamu mau tahu pendapatku, tinggalkan laki-laki yang tidak bertanggung jawab itu. Sadarlah, kamu sedang bermain api. Kalau tidak hati-hati bisa terbakar nanti!” seruku ketus.

Aku tidak tahu dari mana aku mendapat kosa kata itu. Naluri kewanitaanku mungkin yang mengajari semuanya.

Sore itu berakhir kaku, beku, seperti suasana hari ini yang dingin mendung. Awan di langit sangat menggantung. Tinggal menunggu hujan turun.

Comments

Popular Posts