Wah, Kalah Dong Saya

Judul di atas saya kutip dari komentar seorang kawan yang baru saya kenal beberapa pekan berselang. Ketika itu, kami asyik ngobrol ngalor ngidul termasuk menyoal pekerjaan masing-masing. Sambil menikmati makanan kantin, perbincangan kami melebar sampai urusan keluarga.

“Pak Fif sudah berkeluarga?” tanya kawan tadi.
“Sudah,” jawab saya singkat.
“Anaknya berapa,” lanjutnya dengan wajah serius.

Membaca raut wajahnya, saya senyum-senyum saja. Saya sengaja mengolor-olor jawaban dengan mengunyah beberapa potong makanan ringan karena saya dapat memastikan bahwa dia akan terkejut.


“Tiga,” jawab saya. “Anak pertama perempuan lima tahun, kedua laki-laki tiga tahun dan ketiga laki-laki lima bulan.”
“Masak sih,” lanjutnya tidak percaya. “Wah, kalah dong saya. Saya baru dua,” tawanya meledak. Sekalipun umurnya jauh lebih tua dari saya, ternyata dia baru punya dua anak.
“Kalau soal jumlah anak, sampeyan kalah,” lanjut saya pede.

***

Saya sudah terbiasa jika kawan-kawan terkejut mengetahui saya punya tiga ‘anak buah’. Saya tidak ingat komentar kawan itu komentar keberapa. Saya sih, meminjam iklan rokok, enjoy aja alias super cuek.

Saya memaklumi kalau orang-orang di sekeliling saya banyak yang terkecoh. Salah satu penyebabnya adalah postur tubuh saya yang tidak setinggi postur tubuh laki-laki kebanyakan --- tapi tidak pendek-pendek amat. Kedua, ini menurut teman-teman, wajah saya ‘terlalu muda’ untuk ukuran seorang bapak dengan tiga putra.

Pernah, adik saya kandung bertandang ke rumah. Tetangga mengira dia kakak saya. Bahkan, teman istri menyebut kami sebagai pasangan “pernikahan dini”. Saya tidak mengerti apakah terma tersebut merujuk judul sinetron di televisi. Atau, lantaran penampilan saya dan istri, sekali lagi, terlalu muda dengan satu putri dan dua putra?

Entahlah. Yang jelas, sejauh ini komunikasi saya dan istri aman-aman saja --- doakan senantiasa demikian. Ini juga mengingatkan saya pada pepatah Kulon, don’t judge book by it’s cover.

***

Kembali soal anak. Selain komentar di atas, komentar sebelumnya sudah banyak. Komentar bernada mendukung di antaranya, “Enak ya, anak-anak besar, kamu masih muda”, “Gak apa-apa, mumpung masih muda”, “Anak itu membawa rejeki sendiri-sendiri”, “Bersyukurlah, banyak pasangan yang bertahun-tahun berkeluarga namun belum dikaruniai momongan.”

Sementara komentar bernada prihatin tidak sedikit. “Kalau ditinggal kerja, siapa yang mengasuh anak-anak”, “Gak repot merawatnya”, “Pembantunya berapa”, “Cepetan ikut KB”, “Kecil-kecil kok banyak anak”, “Kerep (istilah Jawa berarti jarak antartanaman terlalu dekat)”.

Komentar kedua kebanyakan datang dari orang tua, termasuk pimpinan saya di kantor. Karena telat mengikuti rapat, saya menelepon teman akrab bahwa ketiga anak saya sakit dan saya datang terlambat. Tiba di kantor, saya langsung menuju ruang kerja. Mendadak pimpinan mencegat di tengah jalan.

“Fif, kamu punya tiga anak,” tanyanya.
“Ya,” jawab saya ringkas. Saya heran dari mana pimpinan tahu soal ini.
“Pemerintah saja menganjurkan dua anak. “Kamu kok tiga. Sudah jangan banyak anak,” lanjutnya disertai tawa.

Karuan saja, rekan lain sekantor terkejut dan tertawa. Komentar mereka pun berhamburan. Sekali lagi, saya sih super cuek. Namun, belum sempat saya duduk di kursi, tiba-tiba teman akrab sekantor mendekat.

“Sorry, aku tadi bilang bos. Ketiga anakmu sakit dan kamu tidak bisa ikut rapat. Si bos kaget,” ujarnya cengengesan.
“Kampret,” jawabku bersungut-sungut.

***

Simpulan saya meleset. Ternyata tidak semua orang tua berkomentar dengan nada prihatin. Suatu hari saya bersama istri mengantar anak kami yang ketiga ke rumah sakit. Saat menunggu obat di apotek rumah sakit, di sebelah saya duduk seorang nenek.

“Putra keberapa,” tanya sang nenek dalam bahasa Jawa.
“Tiga,” jawab saya sambil sedikit menundukkan kepala.
“Gak apa-apa,” kata sang nenek seakan-akan sudah membaca pikiran saya. “Keponakanku dulu ikut KB. Tapi, terjadi pendarahan hebat. Akhirnya ia berhenti KB. Sekarang punya sembilan anak. Anak itu amanah dan membawa rejeki sendiri,” lanjutnya dengan lancar.

Saya cuma diam membisu sembari sesekali menganggukkan kepala. Selama perjalanan pulang, saya cerita ke istri tentang nenek tersebut. Satu hal yang membuat kami tidak mampu menahan tawa adalah nenek tadi memanggil saya dengan panggilan “cak” yang dalam bahasa Jawa berarti mas.

***

Mengasuh banyak anak memang menuntut segala sesuatunya serba ekstra. Baik tenaga, pikiran, waktu maupun biaya. Anak saya yang kedua misalnya sering kali membuat saya kewalahan mengimbangi ‘energi kreatifnya’ pada saat bermain.

Sementara anak pertama menuntut kesabaran ekstra kalau sedang merajuk alias ngambek. Apalagi ketika mereka lagi bertengkar atau berebut mainan. Saat-saat inilah kesabaran dan kearifan kita sebagai orang tua betul-betul diuji.

Belum lagi anak ketiga yang masih bayi selalu bangun di sepertiga malam. Saya dan istri bergantian mengganti popok yang basah, membuat susu, menggendong dan meninabobokannya kembali. Tidak jarang ia mengajak bercanda ketika kantuk sedang menyergap. Tapi ada untungnya juga, ternyata jam biologis si kecil memudahkan kami untuk sholat malam.

Ketika mereka terlelap di peraduan acapkali saya dan istri memandangi wajah mereka satu per satu. Wajah-wajah innoncent. Wajah-wajah penuh kedamaian. Kalau sudah begini, dalam hati saya cuma dapat berdoa, “Ya Allah berilah kekuatan dan ketabahan hambamu dalam menjaga amanahMu”. Jadikanlah mereka anak-anak yang sholeh.” (abi)

Comments

Popular Posts