Azzam
Azzam, barangkali itu yang sedang digenggam Safir-si jabrikku yang kini mulai
menginjak remaja. Tapi kini rambutnya tak jabrik lagi. Putra keduaku itu
sekarang sudah kelas 7. Dan ia normal.
Artinya, tanda-tanda perkembangannya sebagai remaja mulai bermunculan.
Suaranya
membesar, badannya mulai menjulang, dan beberapa jerawat bertumbuhan di wajah mulusnya.
Ia juga menjadi temperamental. Ditegur sedikit marah. Kalau aku timpali pasti
akan jadi perang. Tidak jarang kami adu mulut tapi tidak jarang pula dia
memeluk dan menciumku.
Nah, kemarin Safir mengutarakan keinginannya ke rumah sepupunya Hafids yang
jaraknya tidak bisa dibilang dekat. 7 km-an dari rumah kami di Sidoarjo. Ia tahu kalau kami tidak mau mengantar
karena hari Sabtu dan Minggu ada banyak agenda rumah yang kami kerjakan.
Bersih-bersih rumah, ke pasar,
membersihkan bunga-bunga, memasak, menyetrika untuk menyebut beberapa aktivitas
yang biasa kukerjakan. Karena itulah Safir bilang, “aku naik sepeda aja ke sana, Mik.” Tentu
saja aku kaget mendengarnya. Yang bener aja, batinku. Respon suamiku
sebaliknya. “Ya bagus itu.”
Apa? Bagus? Gak salah nih? Berapa km harus ia tempuh? Jalan menuju ke sana kan ramai? Safir
belum pernah ke sana sendirian, bersepeda lagi? Tapi Safirku kukuh. Dia
memantapkan niatnya ke sana. Dan aku mengalah. Hanya kuiringi dengan doa semoga
selamat sampai tujuan.
Pada hari H kebetulan wali kelas Enji—bungsuku melakukan home visit ke
rumah. Selain itu, kami akan menerima kedatangan rombongan teman sekantor abi
yang hendak silaturrahim. Acaranya
dadakan dan tidak kami duga. Ceritanya, Salman—putra ketigaku khitan dan kami
tidak merayakannya. Kami cuma tasyakuran dengan keluarga dan tetangga sekitar.
Rupanya, teman sekantor abi mendengar dan hendak melihat Salman. Ya sudah,
masak orang mau menyambung silaturrahim ditolak? Begitu WA abi ke aku sehari sebelumnya. Akhirnya, kami
berkoordinasi karena aku juga tidak libur kalau hari Sabtu. Kami bagi tugas.
Aku mengurus kue-kue dan abi mengurus makanan utama yang hendak dipesan. Abi
diberi cuti. Urusan kebersihan rumah kami percayakan pada Bita-sulungku.
Setelah selesai menemani abinya ke pasar, Safir berangkat ke rumah sepupunya.
Aku hanya berdoa semoga Allah memberi keselamatan padanya sampai tujuan. Di
sela-sela menemani tamu yang datang kusempatkan menelepon kakakku—orang tua Hafids untuk mengecek apa
Safir sudah sampai. Alhamdulillah, Safir sampai dengan selamat. Kutelepon dia dan kutanya berapa kali ia
berhenti untuk beli minum dan Safir menjawab hanya sekali. Aku diam. Kutanya
lagi apakah dia capek dan ia menjawab tentu saja tapi rupanya dia senang.
Ketika tulisan ini kubuat, Safir sudah berangkat dari rumah sepupunya untuk
pulang ke sini. Sudah hampir satu jam dan belum tampak batang hidungnya. Semoga Allah
memudahkan perjalanannya ke sini dan sampai dengan selamat.
“Umik, Safir datang!” teriak abi dari ruang tamu.
Alhamdulillah. Terima kasih ya Allah.
Comments