Dari Acara Diklat Kompetensi Guru B. Inggris SMP, SMK, dan SMA Kota Surabaya

Hari pertama, Senin 17 Desember 2007Baru saja aku meletakkan tas di meja kerjaku, tiba-tiba korbid (koordinator bidang studi) ku menemui dan mengajakku berangkat ke sebuah acara di kampus UNESA, Lidah Wetan. Tentu saja aku terkejut, kok mendadak begini? Memangnya acara apaan? Segera saja ia menceritakan kalau acara ini erat kaitannya dengan follow up uji kompetensi guru yang dilakukan diknas kota beberapa waktu silam. Segera saja aku mengemasi tasku karena surat tugas sudah dibuat. Singkat cerita, kami sampai di acara tersebut dengan selamat.

Kejutan kedua kudapatkan ketika sampai di forum tersebut. Tidak ada spanduk apapun, baik ucapan selamat datang atau yang menunjukkan ini acara apa, siapa penyelenggaranya, tujuannya apa dan nyaris tanpa protokoler. Peserta hanya menandatangani daftar hadir rangkap tiga dan mendapatkan susunan acara selama tiga hari ke depan beserta copi materi hari ini.


Dengan peserta sekitar 250 orang guru negeri dan swasta, acara ini dikemas dengan tidak profesional. Acara molor 40 menit dari yang dijadwalkan, pukul 08.00. Kulihat hanya ada seorang bu Syukriah, dosenku dulu mondar-mandir di depan. Aku pikir ia sedang menunggu seseorang untuk membuka acara. Ternyata, tidak ada pembukaan, pembicara yang dosen UNESA itu langsung tancap gas. Meminta peserta melihat hand out yang diberikan dan mulai membahas materi hari ini, Reading. Persis pertemuan dosen dan mahasiswa yang bersifat reguler. Tidak menyiratkan sama sekali bahwa kami, para peserta ini datang untuk kali pertama dan tidak tahu apa tujuannya dikumpulkan di sini. Dengan begitu, kami tidak yakin mampu menangkap esensi acara ini.

Kejutan ketiga kudapatkan saat break. Karena tergelitik dengan kronologis acara hari ini ditambah rasa penasaranku terhadap acara ini kuberanikan diri bertanya: Maaf bu kalau saya sedikit lancang, sebenarnya tujuan acara ini apa?untuk apa kami dikumpulkan di sini?kok tidak ada pembukaannya, no goal setting, dan ibu langsung masuk materi. Diluar dugaan, bu syukriah juga menjawab tidak tahu.

Ia hanya menyatakan diri sebagai pemateri, itu saja. Tapi buru-buru ia menjelaskan kalau ia dibekali dengan secarik kertas berisi beberapa instruksi diantaranya: kalau ada yang bertanya apakah acara ini ada kaitannya dengan uji kompetensi guru yang dilakukan beberapa waktu lalu jawabannya tidak, dan tindak lanjut acara tersbut masih belum dipikirkan, kalau ada yang bertanya apakah yang hadir di sini tidak lulus pada saat uji kompetensi guru jawabannya tidak, bla…bla…bla…, kalau ada yang bertanya apakah peserta akan mendapat sertifikasi jawabannya ya.
Kemudian ibu yang tetap cantik energik ini mengumumkan pertanyaanku dan membacakan semuanya tadi di depan peserta setelah break. Ketika sampai pada kosakata sertifikat, segera saja tepukan riuh menggema di auditorium ini. Ah, selalu saja sertifikasi.

Hari kedua, 18 Desember 2007
Hari ini aku siap dengan kejutan selanjutnya.
Sepanjang perjalanan, tak habis-habisnya aku mendiskusikan acara ini dengan korbidku. Kami mengkritisi habis-habisan UNESA yang menyelenggarakan acara besar semacam ini dengan asal-asalan. Mengapa kami menyebut asal-asalan? Ya, salah satunya karena alasan di atas.

Terlebih lagi, dengan jumlah peserta yang relatif besar sebenarnya UNESA bisa lebih well prepared. Dibentuk sebuah panitia, disusun sebuah acara yang mampu memberikan gambaran jelas apa yang akan didapat peserta setelah pelatihan, apa manfaatnya bagi guru sebagai peserta sehingga ketika pulang dari acara ini guru merasa mendapat sesuatu. Bukan sekedar sertifikat. Bukankah hal ini sebagai bagian dalam Pengabdian Pada Masyarakat?

Ngomong-ngomong soal sertifikat, mungkin saat ini dikatakan sebagai euphoria bagi guru mengumpulkan sertifikat. Dan itu tampaknya telah menjadi makanan empuk bagi pengeruk uang. Lihat saja di surat kabar, berapa jumlah training sertifikasi tiap minggunya. Ujung-ujungnya, uang. Karena guru merasa butuh sertifikatnya maka tak segan-segan ia membayar sejumlah rupiah. Sekali lagi, karena sertifikat dan bukan ilmunya. Ironis bukan dunia pendidikan kita?

Sebagai contoh, pelatihan guru profesional yang diselenggarakan oleh Klub Guru beberapa waktu silam. Menurut seorang teman, jumlah peserta mencapai 200 an guru sampai-sampai panitia kehabisan sertifikat. Coba dikalkulasi kalau setiap pesertanya membayar 50 ribu rupiah, berapa jumlah transaksinya.

Kembali ke acara. Ketika kami sampai, acara baru dimulai. Seperti biasa kami duduk di barisan terdepan. Entah mengapa, barisan terdepan selalu kosong. Bagi kami, justru forum-forum seperti ini membutuhkan tingkat keseriusan lebih dan karenanya duduk di depan adalah pilihan yang tepat. Kami bisa menyimak materi dengan jelas, akses bertanya, komplain dan menyampaikan saran jauh lebih mudah dan cepat dibanding dengan penghuni barisan belakang. Belum lagi, kalau ternyata sang pembicara membutuhkan bantuan, maka penduduk terdepan punya akses lebih luas untuk membantunya.

Bu Rini, pemateri hari ini adalah dosen favoritku ketika masih kuliah dulu. Ia tampak awet muda. Dengan kaos dan celana hitam dipadu rompi bunga-bunga merah menawarkan kesan perpaduan maskulin feminin yang eksotik. Bu Rini masih sumringah, caranya mengajar step by step, bahasanya terpilih dan tertata dengan rapi persis dengan materi Structure yang dibawakan hari ini.

Setelah menerangkan selama lebih kurang setengah jam kami harus mengerjakan soal di hand out yang sudah diberikan panitia. Soal tersebut terdiri dari 9 item soal errror analysis dan 15 soal pilihan ganda yang harus dikerjakan secara berkelompok. Jenis soal tersebut sangat membutuhkan kejelian yang dalam. Untungnya kami bekerja secara berkelompok. Ada dua orang guru yang tergabung di tim kami, pak Ari dari SMP 24 dan bu (saya lupa namanya) dari SMP Sudirman. Diskusi berjalan lancar di awal dan pertengahan sampai akhirnya aku merasakan kejenuhan juga. Capek.

Sampailah sesi pembahasan. Entah sudah berapa item jawaban yang salah hanya karena kami kurang teliti dan lupa karena sudah lama kemampuan menganalisa tersebut jarang kami pakai. Sesi ini juga mengambil waktu yang relatif lama dan berujung kebosanan. Forum terlalu kaku, kami hanya duduk manis dan tak bergerak kecuali otak kiri kami. Akhirnya, ustad Darwis mengingatkan bahwa waktu kurang sepuluh menit dan bu Rini belum memberikan apa yang dijanjikan. Ia berjanji akan sharing tentang pembuatan RPP.

Hari ketiga, 19 Desember 2007Belajar dari pengalaman dua hari sebelumnya maka kami menyiapkan diri untuk menulis hari ini karena materinya Writing. Pematerinya bu Lies Amin, dosen UNESA juga. Penampilannya jauh berbeda dengan ketika aku masih menjadi mahasiswanya. Ia sudah berjilbab. Baju warna blewah dengan jilbab senada dipadu celana hitam menampilkan kesan ceria. Dan benar, bu Lies benar-benar ceria!

Berbeda dengan bu Rini yang tampak elegan, perempuan satu ini cenderung lebih terbuka, blak-blakan logat Surabayanya dan candanya menurutku kurang cerdas. Ia cenderung nyerempet-nyerempet bahaya. Dosen ceria ini mengklaim dirinya sebagai dosen yang suka ngeyel, tidak mau kalah dan berminat besar pada menulis. Dengan terus terang (sedikit sombong?) ia mengakui tidak bisa grammar dan hanya bisa menulis. Karenanya, ia didapuk membawakan materi Writing An Argumentatif Essay. Melihat makalahnya, aku bisa menilai kalau memang ia concern di Writing karena ia satu-satunya pemateri yang menampilkan Bibliography dalam makalahnya.

Menurutnya, menulis itu erat kaitannya dengan kondisi pikiran seseorang. Kalau orang itu cenderung berpikir linier maka tulisan yang dihasilkannya akan bagus, dengan serentetan logika yang tajam dan tidak mbulet. Tulisan para peserta uji kompetensi guru kemarin dinilai dosen ini sebagai tulisan yang mbuleting alias mbulet, berputar kemana-mana dan tidak fokus.

Lalu, ditampilkannya slide (ia satu-satunya pemateri yang memanfaatkan tehnologi informasi, laptop dan LCD namun sayang rupanya ia masih belum prigel dalam menggunakannya, belum melek IT) berisi karya seorang peserta uji kompetensi guru kemarin yang dinilai mbulet tadi. Dikritisi dengan alat bantu makalah tadi. Menurutnya, menulis Esai Argumentasi kuncinya pada seberapa jauh kita mempertahankan pendapat kita dengan menuliskan alasan-alasan yang tepat.

Beberapa karakteristik tulisan esai argumentasi adalah:
The argumentative essay should introduce and explain the issue or case.
The essay should offer reasons and support for those reasons.
The essay should refute opposing arguments.
If an opponent does have a valid point, concede that point.
The conclusion should logically follow from the argument.

Tulisan Esai Argumentasi biasanya terdiri dari tiga bagian: Introduction, Body, and Conslusion. Untuk membuat Introduction yang bagus, penulis harus memikirkan beberapa hal sebagai berikut:
1. The section relating the topic to the reader’s own experience.
2. A question that sets out the problem behind the topic.
3. A statement of why some people disagree with the writer and are likely to hold that opinion.
4. A statement that sets out the writer’s own opinion to the topic.


Body terdiri dari kalimat-kalimat pendukung yang masing-masing paragraf hanya berisi satu alasan, tidak lebih.
Conclusion. Ada dua kesalahan mendasar yang sering dilakukan oleh penulis argumentasi. Pertama, teks argumentasi diakhiri tanpa simpulan. Kedua, kalaupun ada simpulan, biasanya berisi ide baru. Beberapa metode untuk menuliskan simpulan diantaranya:
Climax : menunjukkan ide terakhir yang berkaitan dengan poin utama tulisan tersebut.
Restatement : menuliskan kembali atau menyimpulkan ide pokok tulisan.
Application : menuliskan penerapan dari materi tulisan yang dipresentasikan. Selama tidak mengandung ide-ide baru (di luar yang sudah dibicarakan di introduction dan body) penulis bisa mengakhiri tulisannya dengan a challenge, a suggestion of importance atau a provoking question.

Akhirnya bu Lies mengakhiri materinya dan forum ditutup tanpa tanya jawab. Dan benar dugaanku, forum ditutup tanpa ada evaluasi. Tidak meminta sedikitpun kritik dan saran dari peserta baik secara lisan maupun tulisan. Rupanya panitia sudah cukup percaya diri kalau acara yang digelar selama 3 hari ini sukses.

Hidup memang penuh kejutan. Kejutan terakhir kudapatkan ketika hasil uji kompetensi guru yang lalu diumumkan lewat selebaran yang menurut bu Lies masih rahasia dan tidak boleh keluar dari forum. Dari 250 peserta yang ikut, alhamdulillah aku berada di peringkat ke 8 dengan nilai rata-rata 87. Korbidku berada di 2 atau 3 tingkat di bawahku sementara teman-temanku yang lain agak jauh di bawah, sekitar peringkat 60 sekian.

However, diklat 3 hari ini memberiku banyak ilmu. Pertama, bagaimana mengelola sebuah acara dengan bagus. Kedua, memotivasi diri untuk selalu belajar, khususnya IT karena sudah saatnya bagi guru untuk melek IT. Ketiga, ini yang paling aku suka karena aku bertemu dengan orang-orang dari masa lalu, sahabat, dosen dan selaksa kenangan yang tinggal bersama mereka. Terlebih lagi karena kami memiliki komitmen yang sama, mencerdaskan anak bangsa.

Comments

Popular Posts