Ziarah Kubur



Kami masih memegang tradisi. Sebelum Ramadhan tiba kami selalu melakukan ziarah kubur ke makam para leluhur. Hari ini saya bersama adik dan kakak saya mengunjungi makam ibu di Madura. Ibu memang berasal dari Madura dan minta dimakamkan di sana. Baru sekarang saya paham mengapa ibu ingin dimakamkan di tanah kelahirannya. Tak lain dan tak bukan agar kami tetap menyambung tali silaturrahim dengan keluarga dan para kerabat.  Bapak saya orang Blitar, dimakamkan di Surabaya Barat. 

Kami toron. Saya melaju dengan motor menuju Surabaya untuk bergabung dengan keluarga di Surabaya. Saya pergi seorang diri. Sulung saya sedang belajar untuk PAS. Yang nomor dua sedang di Batu bersama teman-temannya. Si bungsu sedang sakit sehingga yang nomor tiga juga tidak ikut. Anak ketiga dan keempat selalu menjadi satu paket. Kalau yang satu tidak ikut maka lainnya pasti tidak ikut. Ia saya pasrahi merawat adiknya. Suami tidak jadi ke Lamongan seperti yang telah direncanakan sebelumnya. Ia lebih memilih menemani si bungsu. 

Setelah perjalanan lebih kurang setengah jam sampailah saya di rumah Dukuh Kupang, bertemu keluarga Surabaya. Ternyata keponakan  yang sepantaran dengan bungsu saya juga tidak bisa ikut karena sedang sakit. Klop sudah. Akhirnya kakak saya berboncengan dengan istri, saya akhirnya berboncengan dengan adik. Sekitar pukul setengah sembilan kami berangkat menaiki motor. Membelah Surabaya menuju jembatan Suramadu. Saya sangat menikmati perjalanan di Suramadu. Memandang ke kanan kiri yang terhampar hanya laut. Hembusan angin yang tidak terlalu kencang membuat perjalanan tidak terlalu panas. 

Singkat cerita kami sampai di tanah kelahiran ibu. Suasana pedesaan segera menyeruak begitu kami sampai di sana. Sungai yang mengalir di depan rumah-rumah dusun masih menawarkan pemandangan yang sama.  Ikan-ikan kecil timbul tenggelam, berlarian di antara bebatuan. Bentuk dan lebar sungai tetap seperti itu. Di pinggir-pinggirnya bertebaran bunga beras kutah. Di pinggir lainnya tertutup daun-daun bambu kering. Tidak terlalu banyak perkembangan.
Ada penduduk lokal yang memandikan sapinya. Sementara di seberang sungai yang lain masih ada orang membuang hajat. Begitu santainya seolah ia masih hidup pada puluhan tahun ke belakang. Hehehe...

Segera kami masuk pelataran rumah keluarga ibu. Luas  khas rumah desa. Kami segera disambut oleh embikan kambing. Kompleks rumah ini sudah berlantai keramik. Bagian yang tertutup keramik hanya teras depan, mushola, dan  rumah depan. Mushola dan rumah samping dibangun beberapa tahun yang lalu oleh para sepupu. Sementara ruang-ruang di dalamnya masih beralaskan tanah. Kebanyakan rumah di daerah ini begitu. Kecuali rumah-rumah orang berduit tentunya.
Pohon bambu yang berjajar, saling menaungi, menjadi kanopi hidup. Suara kriieeek krieek mengiringi langkah kami menuju pusara. Ah, Ibu... semoga Allah melapangkan kuburmu.

Comments

Popular Posts