Cantik Itu Luka

Ketika mendengar cerita teman-temanku yang akan aku ceritakan ini segera aku teringat akan sebuah novel karangan Eka Kurniawan berjudul Cantik Itu Luka. Mungkin tidak ada hubungan antara cerita di dalam novel tersebut dengan kejadian yang menimpa temanku ini kecuali permainan judul semata.

Di suatu kesempatan makan siang, seorang teman mengeluhkan perutnya sakit. Tanpa ditanya ia menceritakan bahwa barusan ia minum obat, tapi tidak lama kemudian ia merasa perutnya nyeri karena ia belum makan nasi.

“Lho, kenapa kok nggak makan nasi?” tanyaku ingin tahu.
“Ya gimana ya, aku sendiri bingung. Kalo tiap hari aku makan nasi tiga kali sehari maka berat badanku naik 3 kilo. Makanya, biasanya aku cuma makan nasi satu kali sehari, sisanya aku makan sayur aja,” terangnya.
Aku cuma bisa ber-ooo yang panjang. Sebenarnya tubuh temanku itu tidak begitu gemuk jika disandingkan dengan tingginya. Ia tipe-tipe bangkok. Tapi ia sangat khawatir seolah-olah hanya dirinya yang over weight di dunia ini.

“Si anu lho berhasil dietnya. Beratnya turun delapan kilo sebulan terakhir ini,” kata temanku satunya. 
“Gimana caranya?” tanya temanku yang sakit perut tadi.
“Puasa. Ia rajin puasa dan hanya minum susu saja. Ia jarang sekali makan nasi,”tambahnya.
“Puasa apaan?” tanyaku.
“Nggak tahu tuh, pokoknya puasa,” katanya kemudian.
“Lha kalau nggak ada sunnahnya, masak diniatin puasa diet?” tanya temanku satunya.
Aku segera mengalihkan pokok pembicaraan kami agar terhindar ghibah.

“Kalo menurutku sih, tubuh sampeyan cukup proporsional. Nggak gemuk-gemuk amat. Lagian sampeyan tinggi. Mending sampeyan ikutan senam aja, daripada nggak makan nasi. Tubuh bisa kencang, terbentuk dan nggak khawatir kena magh. Bukankah itu mendholimi tubuh kalo sampai sakit gitu?”kataku kemudian.
“Aku lho punya alat senam sendiri,” sahutnya kemudian.
“Sebenarnya sih seluruh keluargaku besar-besar semua, tapi kalau setiap hari beratku naik aku jadi takut juga,”imbuhnya.

Aku sendiri jadi ingat dengan pengasuh anak-anakku yang juga dikaruniai Allah kelebihan berat badan. Ia sangat bingung dengan tubuhnya yang bulat. Apalagi dia belum menikah. Menurutnya, laki-laki nggak bakalan suka dengan perempuan yang besar. Ia takut tidak ada laki-laki yang bakalan datang padanya. Makanya ia mati-matian berdiet. Beragam cara telah dicobanya. Mulai mengganti nasi dengan kentang, mengkonsumsi sayur dan buah lebih banyak, sampai makan hanya telur setengah matang dan madu. Aku sih oke-oke aja kalau ia diet asalkan tidak mengganggu aktifitasnya. Ia tetap sehat dan tugas-tugas terlaksana dengan sempurna.

***

Mungkin yang dialami dua orang di atas juga dialami oleh sebagian perempuan lainnya. Mereka menganggap kecantikan adalah masalah fisik. Sementara persepsi terhadap kecantikan itu sendiri dibentuk oleh kapitalisme untuk memasarkan produknya. Cantik itu harus tinggi, langsing, putih, dan berambut panjang misalnya. Seperti yang banyak kita saksikan di stasiun televisi, majalah, dan media lainnya.

Jadi, ketika dirinya tidak langsing maka ia menganggap dirinya tidak cantik. Dibelilah produk-produk pelangsing tubuh, alat-alat yang bisa membuat tubuh dan bagian-bagiannya lebih mendekati definisi cantik buatan para kapitalis. Begitu juga ketika kulitnya tidak putih seperti yang sering kita lihat di iklan-iklan produk pemutih kulit, ia akan menganggap dirinya tidak cantik. Satu-satunya cara, membeli produk pemutih kulit padahal pigmen kulit orang Asia berbeda dengan mereka yang tinggal di Eropa, Australia misalnya. Akhirnya, larislah produk-produk yang mereka iklankan di media.

Maka, kemudian yang kukatakan pada temanku yang sakit perut tadi adalah mengubah persepsinya terhadap kata cantik. Cantik itu urusan persepsi. Kalau persepsi kita terhadap cantik sama dan sebangun dengan yang digulirkan oleh para kapitalis tadi, ya, siap-siap aja bangkrut. Rambut tidak hitam, legam, lebat,dan panjang sudah bingung. Wajah berjerawat sedikit jadi pusing. Kulit tidak halus, mulus, dan licin jadi pening. Kalau sudah begitu, kita tinggal hitung berapa rupiah yang harus dikeluarkan untuk urusan kecantikan. Belum lagi kalau harus menanggung sakit, terluka hanya karena ingin tampil cantik.

Namun, semua itu jangan diartikan kita tidak perlu merawat tubuh kita. Perawatan tubuh tetap perlu itu. Apalagi bagi perempuan. (Baik yang belum married maupun yang sudah, lho!) Sebagai perempuan, kita harus pandai-pandai memanage diri, waktu, finansial, dan jangan sampai terjebak dengan jerat kapitalisme.

Satu lagi yang terpenting selain kecantikan fisik adalah inner beauty. Bagaimana kecantikan yang fana ini berhiaskan kepribadian yang adi luhung, otak yang encer sehingga ada sesuatu yang bisa kita banggakan. Maka tak heran ada seorang teman yang bilang, okey I’m big but here I’m. Dan temanku itu memang sangat cerdas dan ia pantas dihargai karena kompetensinya bukan dilihat karena fisik semata.

So, untuk menjadi cantik, nggak perlu kok harus sampai luka apalagi pake berdarah-darah.

Comments

Popular Posts