Sarapan Cinta

Aku tidak ingat sejak kapan aku punya agenda tetap yang kulakukan ketika hari minggu atau libur tiba. Aktifitas itu sangat sederhana. Saking sederhananya bagiku ia sangat istimewa. Aku mengajak ketiga anakku sarapan pagi atau makan sore di pos kamling di ujung gang. Pos itu berdindingkan tembok pembatas perumahanku yang dibaliknya adalah sawah yang membentang luas sejauh mata memandang. Kadang-kadang kami ditemani sekawanan burung yang sedang mengitari persawahan. Indah.

Hari ini aku membawa mereka ke sana. Berbekal sepiring nasi, sepiring bihun campur wortel, daging cincang, dan bakso serta dua botol air minum ukuran sedang. Taklupa kubawa selaksa cinta buat mereka di awal hari ini. Kami mau sarapan. Sarapan cinta, begitu aku menyebutnya.


Cuaca hari ini sangat cerah. Matahari bersinar penuh, memamerkan kegagahannya pada semesta. Curahan orange cahayanya membagi kehangatan pada tiap unsur penghuni alam. Kulitku serasa dimanja oleh sentuhan hangatnya. Kunikmati sangat pelukannya di pagi ini. Hal yang sangat jarang aku dapatkan di hari kerja.

Aku berangkat pukul enam pagi ketika ia masih malu-malu menyembul. Kadang-kadang aku menikmati hangatnya yang mampir karena aku di jalanan. Sampai di kantor, kulitku langsung disambut dinginnya udara AC yang sudah dinyalakan. Pulang pukul empat atau lima sore, ia sudah tak mau lagi membagi hangatnya. Maka, ini kesempatan langka bagiku. Segera kupamerkan wajahku pada sang surya. Anak-anakku segera menyipitkan mata telanjangnya ketika sinarnnya jatuh menimpanya. Lucu.

“Ummi, lihat ada kuburan!” teriak Safir sambil menunjuk ke arah persawahan.
“Bukan, Fir, itu sawah!” ralat Bita.
“Ndak, itu ada pocongnya!” sahut Safir nggak mau kalah.

Dalam hati aku tertawa, namun ekspresi wajah Safir penuh keseriusan dan aku nggak mau mengganggunya. Maman melompat-lompat seolah ia meneriakkan bahwa dirinya juga berhak mendapat informasi yang akurat. Segera kuangkat badannya. Ia tampak puas. Ternyata yang dimaksud pocong oleh Safir adalah para petani yang sedang menanam padi sementara kuburannya adalah pematang sawah yang memang berbentuk gundukan seperti kuburan.

“Itu sawah, Mas, dan yang itu pak tani sedang nanam padi,” kataku kemudian. “Ayo segera duduk dan baca do’a, katanya mau sarapan?” pintaku.

Lalu satu persatu anakku itu mulai duduk bersila, menengadahkan kedua tangannya. Tanpa kuminta, Bita memimpin baca do’a sebelum makan. Maman ikut bergumam, dan menangkupkan kedua telapak tangannya ke wajah ketika sampai pada “aamiin”

“Sekarang siapa dulu?” aku selalu menawarkan hal ini agar tidak jadi rebutan ketika suapan demi suapan aku lakukan. Ternyata hari ini suapan pertama dimulai dari Bita kemudian Salman dan Safir. Tentu saja kutambahkan setangkup cinta pada setiap suapan.

“Ayo Mbak, buka mulutnya,” pintaku. Suapan pertama masuk dengan sempurna. Selanjutnya.
“Mi, kalo orang mati itu jadi pocong ya?” tanya Safir kemudian.
“Iya Mi, terus disiksa. Bergerak-gerak, gitu,”sahut Bita. “Sofi lho punya CD siksa kubur, pocongnya gerak-gerak, terus ada kebakarannya, merah semua!”

Aku jadi teringat beberapa minggu lalu, Sofi dan keluarganya yang tinggal di sebelah rumahku, memutar CD siksa kubur. Aku dan rekan-rekan sudah mendengarkan rekamannya. Mungkin berbulan-bulan sebelumnya. Tentang seorang geolog yang mengebor bumi. Ia menambahkan sejenis microphone untuk melacak kedalamannya. Tak dinyana, kemudian ia mendapati suara jeritan orang-orang yang disiksa. Bulu kudukku berdiri mendengarnya. Rekaman itu begitu berarti, tapi tanpa ilustrasi. Dan yang dilihat anakku adalah pocong, orang mati itu menjadi pocong dan disiksa.

“Tidak semua orang mati itu disiksa,” kataku sembari menyuapi giliran selanjutnya. Maman agak enggan menerimanya. Ia bergulung-gulung sembari memainkan bihun yang menempel di atas bibirnya.
“ Kalau orang itu baik amalnya, ia tidak disiksa. Makanya, mbak Bita, mas Safir, dan Maman harus jadi orang baik. Sayang sama umi-abi, kakak sayang sama adik-adiknya dan teman-temannya. Kalo ngomong nggak boleh yang kasar-kasar. Allah pasti sayang sama anak yang seperti itu,” lanjutku.

Kuaduk bihun campur itu karena mata Safir melirik pada bongkahan bakso yang menggelinding. Ternyata dugaanku benar. Ia segera minta tambah suapan. Aku melayaninya.

“Iya Mi, kata ustadzahku kita itu dicatat ya Mi, “ sahut Bita.
“Betul sayang, yang dicatat itu perbuatan kita. Ada malaikat yang mengikuti kita. Kalo kalian melakukan yang baik-baik, malaikat yang di sebelah kanan kita mencatatnya. Kalo yang jelek-jelek, yang sebelah kiri. Nanti, catatan itu diberikan pada kita kalo sudah kiamat. Terus ditimbang. Kalo berat yang baik, maka kita masuk surga. Tapi kalo berat yang buruk maka masuk neraka,” lanjutku.
“Neraka itu apa, Mi?” tanya Safir tiba-tiba.
Aku tersentak, “ Neraka itu tempat bagi anak-anak yang nakal, nggak sayang sama ummi abinya. Kalo anak itu anak baik, sholih sholihah maka tempatnya di surga,” lanjutku sekenanya.
“Cerita lagi, Mi!” seru Safir kegirangan karena bakso yang tersisa diberikan Bita secara cuma-cuma.
“Dan kalian tahu sayang, di surga itu enak. Hawanya sejuk, banyak buah-buahan, pemandangannya indah,”
“Aku pernah ke sana, Mi!” seru Bita tiba-tiba.
“Aku juga, sama abi sama Maman. Sama abi aku dibelikan es krim di surga. Enak, Mi!” tambah Safir nggak mau kalah. Maman masih bergulung-gulung.




Sesungguhnya aku tidak tahu apakah mereka paham akan penjelasanku. Apalagi buat Safir dan Maman. Tapi semoga apa yang kuceritakan hari ini mengendap di alam bawah sadarnya dan suatu saat akan menjadi prior knowledge, pengetahuan awal bagi mereka. Aku berhutang pada mereka, atas pertanyaan yang mereka ajukan. Semuanya membuatku berpikir dan belajar kembali menjadi orang tua. Bagaimana aku harus sabar menjawab pertanyaan mereka yang terkadang datang tiba-tiba dan membuatku tersentak, menyampaikannya dengan bahasa sangat sederhana yang mereka pahami. Ah, anakku terima kasih ya atas rasa ingin tahumu yang sangat tinggi.
Sepiring nasi, bihun campur ludes tak tersisa. Alhamdulillah.

Matahari semakin memanasi kami. Keringat mulai muncul di dahi kekasih-kekasih mungilku. Aku sangat merindukan saat-saat seperti saat ini, mengumbar cinta pada momen sarapan.

(Ya Allah, jadikan kami orang tua yang sabar dan anak-anak yang sholih solihah, sehat, dan cerdas. Amin)

Comments

Popular Posts