Generasi Imun Cegah Woman Trafficking

Membaca berita woman trafficking, perdagangan perempuan di bawah umur yang dilakukan seorang remaja Lina (17 th) membuat hati kita miris. Lina yang masih berstatus pelajar SMK ternyata telah berkali-kali menjual para gadis. Untuk yang masih perawan, ia mematok harga 2 juta. Separonya akan masuk ke kantongnya sebagai calo. Tertangkapnya Lina karena penggerebekan polisi menghasilkan nama Sofia, pelajar SMP (15 th) yang tidak lain adalah adik kelasnya. (Jawa Pos, 11 Maret 2008)
Salah satu alasan mengapa Lina tega menjual Sofia karena Sofia sering mengatakan ingin bergaya hidup layaknya anak muda: punya pakaian bagus, handphone seri terbaru dan duit banyak. Sehingga ketika ada lelaki hidung belang membutuhkan, segera saja ia teringat Sofia.

Demi melihat alasan di atas, ingatan saya segera melayang pada sebuah film remaja yang beberapa waktu lalu sempat menjadi kontroversi. Film tersebut berjudul Virgin. Dalam film itu diceritakan sang pemeran utama, seorang gadis SMA dengan sadar melepas virginitasnya. Keperawanannya ditawarkan dengan nominal 15 juta rupiah dan laku dengan nilai 10 juta rupiah. Dengan uang tersebut ia membeli life style tadi: pakaian bagus, hp terbaru, dan berfoya-foya dari café ke café, mall ke mall.
Terlepas dari apakah Sofia mempunyai motif serupa ataukah semua itu hanya rekaan Lina sebagai upaya mempertahanankan diri, ada satu hal yang harus kita berikan concern yang dalam: gaya hidup remaja sekarang.

Budaya Populer
Dalam ilmu psikologi disebutkan bahwa masa remaja adalah masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. Remaja tidak ingin dikatakan anak-anak lagi namun juga tidak ingin dicap sebagai orang dewasa. Dengan kata lain, masa remaja adalah masa transisi. Banyak sekali pengaruh-pengaruh luar yang mewarnai wajah remaja. Pengaruh terbesar berasal dari lingkungan sosial.
Apalagi di era yang serba terbuka ini remaja telah menjadi konsumen terbesar dari sebuah modernitas. Dengan kelabilannya ia mencoba menjajaki apa yang menurut mereka bagus dan modern. Salah satunya life style yang sering mereka saksikan. Tidak saja melalui media tapi juga di dunia nyata. Pakaian bagus, hp model seri terbaru, kongkow-kongkow di mall, café untuk menyebut beberapa. Meminta hal tersebut pada orang tua belum tentu menuai hasil, maka diambillah jalan pintas.
Dalam buku The Everything Parenting a Teenager Book (2007), Dr. Linda Sonna mengingatkan para orang tua bahwa remaja modern merupakan produk dua keluarga. Pertama, produk orang tua dan saudara kandung. Kedua, produk budaya populer. Karena berada di masa transisi, sering terjadi pertempuran pikiran dan hati remaja, dan tidak jarang budaya populer lebih memenangkannya. Kasus yang menimpa Lina dan Sofia di atas bisa menjadi contoh nyata kemenangan produk budaya populer yang membungkus gaya hidup atas peran orang tua.
Biasanya budaya populer ini semakin dipopulerkan oleh kehadiran teman sebaya. Kita semua paham bagi remaja peran teman sebaya, peer group sangat penting. Kehadiran mereka di masa ini tidak jarang menimbulkan konflik dengan orang tua. Salah satunya karena gap generation. Maka tak heran kalau peer group bisa merengkuh lebih jauh daripada orang tua. Ini, tentu saja membawa konsekuensi. Jika seorang remaja mampu menentukan peer group yang bagus akan selamatlah dia. Namun, begitu sebaliknya.
Lebih jauh, Sonna menuliskan alasan mengapa remaja lebih tersedot pada peer group. Salah satunya adalah tidak adanya identitas dalam diri mereka menyebabkan mereka percaya bahwa teman-teman sebayanya akan lebih memikirkannya.
Sejalan dengan ini ada sebuah teori kontemporer tentang perkembangan sosioemosional anak yaitu teori ekologi Brofenbenner. Teori ini menekankan pada konteks sosial di mana anak tinggal dan orang-orang yang mempengaruhi perkembangan anak. Salaah satu konteks di mana anak menghabiskan sebagian besar waktunya adalah dengan teman sebaya.
Mungkin ini juga yang mendasari Sofia untuk curhat kepada Lina tentang obsesi dirinya. Memiliki apa yang seharusnya remaja seusianya punya. Dan Lina yang menyadari adanya peluang memanfaatkannya dengan sempurna.

Generasi Imun
Salah satu solusi untuk mencegah terjadinya woman trafficking adalah menciptakan generasi imun. Generasi yang kebal terhadap segala bentuk perubahan sosial yang ada di masyarakat. Bukan generasi yang steril karena rasanya tidak mungkin kita meminta anak-anak steril terhadap fenomena sosial di sekitarnya.
Sistem imunitas tersebut bisa dibangun dari luar maupun dalam diri remaja. Faktor luar misalnya keluarga. Keluarga sebagai miniatur masyarakat bagi anak bisa menyiapkan mereka dengan pondasi religi dan nilai-nilai moral yang kuat sejak dini. Sehingga, ketika anak dihadapkan pada permasalahan, mereka telah memiliki pijakan yang kuat. Para orang tua yang tidak kenal lelah belajar cara pengasuhan, membuka pintu komunikasi seluas-luasnya bagi remaja, dan menyediakan a shoulder to cry on tentu akan meminimalisir prilaku menyimpang remaja.
Selain itu, sekolah juga memegang peranan penting. Bersama dengan keluarga menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuhnya pribadi-pribadi yang berkarakter kuat. Atmosfir sekolah yang penuh motivasi, kompetisi yang sehat, dan gairah hidup yang menyala-nyala akan menyalurkan energi remaja yang berlebih ini. Didukung dengan nuansa spiritual yang tinggi akan menyeimbangkan sisi duniawi yang kental dengan remaja.
Sinergitas antara keluarga dan sekolah akan menghasilkan generasi muda yang kuat, kokoh, tidak goyah terhadap iming-iming dunia, popularitas dan life style yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa dan agama.
Yang tidak kalah pentingnya adalah faktor internal remaja itu sendiri. Mereka harus memiliki konsep diri yang positif, berkarakter kuat, mampu membedakan dan berani berkata tidak terhadap hal-hal yang membawa keburukan.
Terakhir, dukungan pemerintah sangat dibutuhkan. Diterapkannya hukum yang tepat pada pelaku trafficking sebagaimana pelaku narkoba, misalnya, barangkali bisa mengeliminir kejahatan yang banyak merugikan kaum perempuan ini.

Comments

Popular Posts