Menjadi 'The Inspiring Teachers'

Hernawati Kusumaningrum
Guru SMP Al Hikmah Surabaya


Anda sudah membaca Laskar Pelangi, novel karangan Andrea Hirata? Salah satu contoh the inspiring teachers akan Anda temukan di novel best seller ini. Mengapa? Karena menurut pengakuan sang penulisnya, novel ini ditulis untuk sang guru tercinta. Karena guru tersebut mampu mentransfer tidak saja ilmu-ilmu akademik tapi juga ilmu kehidupan. Karena guru tersebut mampu memuaskan tidak saja dahaga anak akan ilmu pengetahuan tapi juga cinta dan kasih sayang, membasahi syaraf-syaraf otak, rasa dan ruhaninya. Karena guru tersebut mendedikasikan dirinya tanpa pamrih, meletakkan pondasi bagi tumbuhnya mimpi-mimpi dan memberikan kekuatan untuk meraihnya. Karena guru tersebut telah menginspirasi hidupnya.
Lalu bagaimana dengan kita? Sudah mampukah diri kita menjadi inspirasi anak didik kita? Ada dua kata kunci untuk menjawab pertanyaan itu. Pertama, kompetensi. Bagaimana guru bisa menginspirasi anak didiknya jika kompetensinya masih dipertanyakan? Guru harus mengoptimalkan kompetensinya, baik itu kompetensi akademik maupun paedagogiknya.

Salah satu cara untuk mengoptimalkan kompetensi guru adalah belajar. Guru harus menjadi manusia pembelajar, penganut paham long life education. Dengan demikian, ilmunya tidak akan stagnan. Ia akan berkembang seiring perkembangan waktu dan akan selalu up to date. Selain itu, guru harus benar-benar memahami realitas individual difference setiap anak didiknya. Bahwa setiap anak itu unik, masing-masing mereka mempunyai kemampuan yang berbeda baik itu kemampuan fisik, mental, intelektual, dan spiritual sehingga cara guru berinteraksi dengan mereka pun harusnya berbeda. Kompetensi seperti ini juga harus diasah, ia tidak boleh berhenti ketika kita, guru telah menyelesaikan pendidikan kita.

Pemerintah sendiri telah menggencarkan program sertifikasi untuk meningkatkan kompetensi guru. Sayangnya, masih banyak di antara kita, guru-guru yang menganggap program ini hanya berkaitan dengan uang, tunjangan, sehingga berlomba-lomba mengumpulkan sertifikat dan bukan ilmu yang diperoleh dalam sebuah kegiatan.

Maka tidak heran jika kemudian sertifikat menjadi komoditi bagi orang-orang yang membaca peluang. Seminar sertifikasi pun menjamur dengan pengelolaan yang tidak profesional, kasus jual beli sertifikat, dan sertifikat palsu untuk menyebut beberapa. Padahal, esensi sebenarnya program ini begitu mulia, yakni bagaimana meningkatkan kompetensi guru sehingga berimbas pada peningkatan kualitas pendidikan di negara kita.

Kedua, komitmen. Selain berkompetensi optimal, guru dituntut memiliki komitmen yang tinggi terhadap pendidikan. Seorang guru bukan hanya pengajar tapi ia juga pendidik. Ia tidak hanya mentransfer ilmu tapi juga nilai-nilai. Justru transformasi nilai inilah bagian terpenting dalam pendidikan. Ia akan dibawa anak sampai dewasa. Bahkan ketika ia menjadi pemimpin, ia akan membawa nilai-nilai yang diwariskan sang guru pada mereka.

Bagaimana guru mengubah prilaku anak dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang berprilaku buruk menjadi lebih baik, untuk menyebut beberapa. Maka dibutuhkan jiwa yang benar-benar memahami arti pendidikan itu sendiri. Jiwa-jiwa yang bebas, ikhlas tanpa batas. Sehingga, setiap tutur kata yang keluar dari lisannya adalah mutiara, dan setiap tindak-tanduknya adalah teladan. Guru seperti inilah yang mampu menginspirasi siswanya.

Langkah Baru
Tingkatkanlah kompetensi diri. Jangan pernah lelah dan malu untuk belajar. Bukankah di era informasi saat ini, akses belajar menjadi sangat mudah? Media massa, elektronik, dan internet bukan barang baru lagi. Sudah saatnya bagi guru untuk melek IT.

Selain itu, tumbuhkan komitmen positif kita sebagai guru. Guru adalah profesi yang mulia, ladang pahala. Namun kalau kita menjalaninya tanpa profesionalitas dan komitmen yang tinggi, guru hanya sekadar menjadi profesi. Ia hanya mengajarkan ilmu tanpa ruh. Peningkatan kompetensi dan komitmen guru sangat membutuhkan dukungan pemerintah, dalam hal ini Diknas.

Jadi, program sertifikasi sebenarnya sudah on the right track. Tinggal bagaimana mengimbanginya dengan kontrol yang ketat agar guru yang benar-benar lolos sertifikasi adalah mereka yang memang memenuhi kualifikasi tersebut. Upaya pemerintah memberikan diklat-diklat yang mengiringi program tersebut hendaknya dikelola dengan lebih profesional sehingga tidak terkesan hanya menghabiskan anggaran atau sekedar proyek semata. Selain itu dukungan dari masyarakat juga tidak kalah pentingnya.

Sekarang tinggal kita, bagaimana para guru ini menyikapinya. Segera tetapkan langkah menuju guru yang 'baru', guru yang inspiratif di tahun 2008 ini.

((tulisan ini pernah dimuat di harian Republika, Rabu, 20 Februari 2008))

Comments

Anonymous said…
Selamat telah menembus Republika!
Tembuslah ruang "Opini", jangan hanya "Akademika".

Popular Posts