Seribu Mentari Surga di Hati Perempuan Afghan

Judul Buku: A Thousand Spendid Suns
Penulis: Khaled Hosseini
Penerbit: Qanita
Cetakan: I, November 2007
Tebal: 510 halaman


Novel ini berkisah tentang pencarian jati diri seorang perempuan Afghan, Mariam, yang dilahirkan sebagai anak haram, harami. Ayahnya seorang kaya raya di Herat bernama Jalil. Ia mempunyai 3 orang istri dan 9 orang anak. Ia juga memiliki 3 orang pembantu yang kelak di kemudian hari salah satunya menjadi ibunda Mariam. Perempuan itu bernama Nana.

Ketika mengetahui Nana hamil, ia segera disingkirkan. Jalil membangun sebuah kolba, sejenis gubug, di sebuah tempat terpencil di Gul Daman. Di sinilah Mariam menghabiskan 15 tahun pertama kehidupannya. Tumbuh dari seorang ibu yang pendendam dan inferior di satu sisi serta ayah yang sangat penyayang di sisi lain menjadi kannya sebuah pribadi yang asing. Ia bingung dengan keberadaan dirinya.


Kebingungan pertama tampak ketika ia menghadapi prilaku Nana yang selalu menyalahkan keadaan. Karena ia dilahirkan oleh tukang batu yang miskin, menjadi pembantu, hamil diluar nikah, dan diasingkan. Semua hal tersebut membuatnya sangat temperamental. Semua ucapannya mengandung kebencian pada sang hidup. Semua tindakan yang dilakukan Jalil sebagai ayah anaknya dianggapnya sebagai cinta dan kasih sayang palsu. Sementara itu yang diketahui Mariam hanya satu: ia sangat mencintai ayahnya, Jalil. Karena yang dilihat dan dirasakannya begitu. Mariam mendapati dirinya di persimpangan jalan.

Ketika Maryam bermimpi untuk sekolah, Nana segera memberangus mimpi itu. Ia mendoktrinnya dengan filosofi: tidak ada ilmu yang bisa dipelajari di sekolah. Yang ada hanya satu keahlian yang harus dikuasai perempuan seperti kita dalam kehidupan ini, dan itu tidak diajarkan di sekolah. Keahlian tersebut adalah tahamul, bertahan! (hal. 33)
Mariam kecil tidak bisa berkata apa-apa. Ia harus menerima segala doktrin ibunya.

Ketika ia kemudian memutuskan untuk menemui Jalil, ia mendapatkan kenyataan yang sesungguhnya. Cinta dan kasih sayang yang ditebarkan Jalil adalah palsu. Jalil tidak bersedia menemuinya meski ia harus menginap di jalanan untuk bertemu dengan ayah tercinta. Alih-alih membawakan cinta, membuka pintu gerbang pun ia tak mau. Mariam pulang dengan kekecewaan yang dalam. Kekecewaan bertambah dalam saat ia menemukan Nana, ibunya tewas gantung diri.

Akhirnya Jalil mengambil Mariam dan memintanya tinggal di istananya. Di sinilah, ia mendapati dirinya teralienasi dengan lingkungan barunya: Tetapi, di manakah tempatku?Apa yang harus aku lakukan sekarang? (hal. 59)

Singkat cerita, Mariam tumbuh dalam kesendiriannya. Ia dijodohkan dengan Rasheed, seorang tukang sepatu di Kabul yang berusia 45 tahun. Ia marah dengan Jalil karena ia sama sekali tidak berpihak padanya dalam kawin paksa ini. Hari-hari menjadi istri dilaluinya dengan keterpaksaan apalagi yang termasuk urusan intim.

Perempuan=KDRT

KDRT terhadap perempuan mengambil porsi yang besar di novel ini. Bagaimana pada akhirnya Mariam mengalami sendiri konsep bertahan yang dikatakan oleh Nana pada masa hidupnya. Ia terus terngiang-ngiang ucapan Nana bahwa hanya ada satu keahlian yang harus dimiliki oleh perempuan, yakni bertahan. Mariam tidak saja harus bertahan menghadapi kekerasan hidup tapi juga kekerasan yang dilakukan oleh Rasheed, suaminya.

KDRT ini dipicu karena Mariam tidak berhasil memberikan keturunan. Kehamilan pertamanya berakhir dengan keguguran. Kenyataan ini membuat Rasheed gelap mata. Setiap tindakan Mariam selalu tidak ada benarnya. Di setiap detiknya hidup Mariam dirundung kecemasan. Ketika menanak nasi, sebagai contoh, selalu saja tidak benar. Suatu hari Mariam dipaksa menelan batu-batu kerikil hanya karena nasi yang ditanaknya menurut Rasheed kurang matang. Ia juga sering menggunakan ikat pinggangnya untuk mencambuk Mariam. Sampai urusan ranjang pun Rasheed menggaulinya dengan sangat kasar.

Ketika Rasheed memutuskan untuk menikahi Laila, gadis tetangga yang mereka tolong karena kedua orang tuanya mati terkena roket Soviet, Mariam pun tak punya hak memperjuangkan hidupnya.
“Aku… aku tidak menginginkan ini,” kata Mariam, merasa mati rasa dengan perasaan tak berharga dan tak berdayanya.
“Ini bukan keputusanmu. Ini antara aku dan dia.” (hal.262)

Selain Mariam, korban KDRT Rasheed lainnya adalah Laila, istri keduanya. Berbeda dengan Mariam, Laila dilahirkan sebagai anak sah. Namun nasib sebagai perempuanlah yang menjadikannya berada di posisi yang tidak menguntungkan. Ketika ia melahirkan anak perempuan, segera saja ia mengalami apa yang dialami Mariam. Sekali lagi, karena ia melahirkan anak perempuan.

Karena persamaan nasib akhirnya Mariam dan Laila bersatu. Apalagi ketika tahu bahwa ternyata anak perempuan yang dilahirkan Laila bukanlah anak Jalil melainkan anak Toriq, kekasih Laila yang dikabarkan telah meninggal oleh Jalil. (Ia bersedia menikahi Rasheed karena di rahimnya telah tumbuh janin, buah cinta terlarangnya dengan Toriq)

Pernah suatu ketika kedua perempuan ini berusaha melarikan diri dari rumah Rasheed. Namun akhirnya mereka tertangkap dan dikembalikan ke rumah suaminya. Rasheed yang merasa harga dirinya diinjak-injak segera mengurung mereka di sebuah gudang pengap dan gelap tanpa memberinya makan dan minum padahal saat itu Laila bersama bayi perempuannya, Azizah. Bahkan sejak bayi pun perempuan mengalami KDRT.

Dikisahkan kemudian, Toriq, kekasih Laila muncul tiba-tiba di Afghan. Pada saat itu Laila sudah mendapatkan anak laki-laki dari Rasheed. Perbedaan perlakuan terhadap anak laki-laki dan perempuan sangat kentara sekali. Kemunculan Toriq di pintu rumahnya diceritakan oleh anak laki-laki Jalil, Zalmai, pada ayahnya. Ini membuatnya gelap mata. Maka, dihajarnya Laila habis-habisan. Entah darimana datangnya kekuatan, Laila melawan Rasheed. Rasheed hampir saja membunuh Laila kalau saja Mariam datang terlambat.

Dengan sebuah pergulatan yang sengit, akhirnya Mariam berhasil mengalahkan Rasheed. Ia membunuhnya dengan sebuah sekop. Sebenarnya itu adalah sebuah tindakan mempertahankan diri namun kondisi dan situasi di sana yang tidak memungkinkan untuk memberitakan kebenaran maka mereka segera mengubur mayat Rasheed. Mariam merasakan sesuatu yang luar biasa setelah adegan ini. Ia merasa telah membuang jauh-jauh kemampuan tahamulnya. Ia sampai pada penemuan terhadap dirinya. Ia merasa harus melakukan sebuah tindakan yang diatasnamakan untuk kemerdekaan dirinya dan perempuan pada umumnya. Meskipun untuk itu, ia harus rela meringkuk di tahanan dan akhirnya meregang nyawa di depan kalashnikov. Sebelumnya ia meminta Laila meninggalkan Afghan dan segera menikah dengan Toriq.

Dalam eksekusi yang dilakukan pihak Taliban, bukan penyesalan yang dirasakannya. Justru ia mendapati dirinya sangat berharga: jati dirinya sebagai seorang anak manusia. Jauh lebih berharga daripada kemunculannya di dunia ini sebagai seorang harami. Ia meninggalkan dunia sebagai seorang teman, kakak, pelindung, ibu. (hal 456) Ia merasa mendapat kedamaian, kehangatan, sehangat seribu mentari surga yang akan membawanya terbang bersama kemerdekaan yang sesungguhnya.

Setting Eksotik
Jika Anda penikmat novel-novel dengan setting eksotik, maka novel ini memanjakan Anda dengan setting historis yang sangat kental: perjalanan Afghan mulai dari nostalgi masa-masa indahnya sampai dengan masa-masa kehancurannya. Persis novel pertama Khaled Hosseini The Kite Runner yang juga menjadi best seller.

Kalau The Kite Runner bercerita tentang pencarian jati diri seorang anak Afghan maka seperti disebut di depan, novel ini berkisah pencarian jati diri seorang perempuan, Mariam. Keduanya menampilkan langit negeri Afghan yang biru damai pada awalnya hingga akhirnya terkoyak dengan kedatangan pasukan Soviet. Desingan peluru, hamburan roket di udara ibarat gemintang di tengah malam. Darah dan air mata bercampur menjadi adonan santapan kepiluan.

Disusul haru birunya masyarakat Afghan menghadapi kaum Mujahidin, teror di mana-mana sampai kedatangan penguasa Taliban yang sangat fundamentalis. Dengan caranya sendiri menyuguhkan nuansa teror yang tidak kalah mencekamnya. Etnic cleansing, kalashnikov, hukum cambuk, hukum rajam, dihapuskannya kesempatan belajar dan bekerja hanya karena seseorang bergender perempuan.

Deskripsi yang dilakukan Hosseini sangat sempurna menyentuh relung-relung kalbu, membawa pembaca seolah-olah hadir di sebuah tempat yang penuh teror. Afghan yang indah segera berubah menjadi neraka di setiap inci wilayahnya. Setiap halaman yang terbuka menghadirkan thriller yang berkepanjangan.

Setting yang mencekam ini akhirnya ditutup dengan nuansa yang sangat manis. Sebuah episode dimana Afghan mulai merangkak menuju kehangatan surya di awal hari. Episode yang mampu menarik kembali Laila dan Toriq ke Afghanistan untuk mengabdikan diri mereka bagi kemajuan dan harapan negerinya. Harapan yang dirasakannya seperti cahaya seribu mentari surga yang selalu bersinar di hatinya.

Comments

Anonymous said…
Assalaamu'alaikum ummi

Secara sengaja (melawan kata "kebetulan" nih) aku juga udah baca novel ini saat menunggu kelahiran Malika. Membaca resensi ummi seperti membaca novelnya dalam bentuk compact so pembaca merasa puas. Kalau boleh saran ni ya, gimana kalau pembacanya dibuat penasaran? Aku sih belum tahu caranya so barangkali ummi bisa aku ditulari ilmunya he he he ....
Eh ya bukannya Nana itu panggilan khusus Maryam Jo pada ibunya?

Congratulation juga ya mi, isi blognya dah banyak. Jadi ngiri nih.
salam tuk tiga malaikat ummi di rumah ya.

wassalaam,
r o e

Popular Posts