Sehalus Lembayung Senja

Seorang teman memintaku mendekat dan mengajak bicara dari hati ke hati di suatu sore. Aku pikir ada sesuatu yang sangat penting karena cara dia memulai percakapan terkesan agak canggung. Seperti biasa, aku pusatkan seluruh perhatian untuk menghormati lawan bicaraku, demi menangkap informasi apakah yang akan disampaikannya.

“Maaf ya, sebelumnya tapi sudah lama sebenarnya aku ingin bertanya padamu. Aku lihat kehidupan rumah tanggamu kayaknya enjoy, gitu, apa sih resepnya?”
Aku segera tersenyum simpul lalu merespon,” Darimana kamu tahu kalo kehidupan kami ok-ok aja?”
“Ya, tahulah!”
“Apa kamu juga tahu kalo di dompetku ini ga ada uangnya?” aku mencoba mencairkan suasana yang serius.
“Aku ini serius!” potongnya.
Aku tahu, kata hatiku.


Kemudian ia bercerita.
“Ya, banyak sih kesan yang kutangkap. Dari cerita kamu tentang keluargamu. Aktifitas yang kamu lakukan sehari-hari. Tentang dirimu yang meski sudah beranak tiga masih mampu membaca novel-novel tebal, membuat resensinya, punya blog sendiri, bla..bla..bla,” katanya kemudian. (oya, pada waktu itu aku memang sedang menscan cover novel Khaled Hossein terbaru yang baru selesai aku resensi sehari sebelumnya. Resensi bisa dibaca juga lho disini)

Aku diam. Mencoba memberi ruang yang lebih luas baginya.
“Kalo aku, punya anak satu aja pusingnya bukan main. Apalagi suamiku itu, orangnya kaku!” katanya kemudian.
Ia terdiam menatapku, mencoba mencari tahu apa aku mendengarnya.

“Kuncinya komunikasi. Sekali lagi ko-mu-ni-ka-si,” kataku berlagak ahli penasehat perkawinan. (he-he-he) Padahal kalo dia tahu, meski aku sudah punya tiga malaikat kecil terkadang masih suka nggondok sama kekasihku itu.

“Aku tahu, dan aku sudah banyak baca teori-teori tentang itu tapi kenapa sulit sekali menerapkannya? Terutama pada suamiku yang nggak banyak omong itu,”

“Apa sampeyan nggak pernah ngobrol berdua? Maksudku, benar-benar berdua thok? Contohnya: kalo kami sih, setelah menidurkan anak-anak, selalu kami sempatkan untuk ngobrol, tentang apa aja, mulai hal-hal kecil sampai yang besar. Hal-hal kecil contohnya sothel(bs jawa) yang patah, cobek yang pecah, kalo yang besar contohnya ya hal-hal yang berbau ideal seperti gimana enaknya pendidikan di negeri ini bisa benar-benar mengedukasi warganya, pendidikan murah, kesehatan gak mahal, …,” cerocosku dengan senyum nakal.
“Kamu memang nggak bisa diajak bicara serius, kok,” timpalnya.

“Sorry, sorry. Take it easy aja. Rumah tangga itu kan sebuah fase kehidupan. Semua itu butuh proses dan kita harus sabar sekaligus pintar dalam mengelola proses ini. (gimana, apa aku sudah kayak psikolog?) Coba segala cara untuk menguatkan komunikasi diantara sampeyan berdua. Masak sih nggak ada kesempatan untuk berdua? mungkin sekedar ngobrol, pijat-pijatan, atau membangkitkan kembali romantisme yang pasti ada di awal-awal menikah dulu? “
“Masalahnya, suamiku itu nggak romantis blas! Latar belakang keluarganya yang keras membentuk kepribadiannya”
“Ya, sampeyan yang mulai. Kalo ia keras, sampeyan yang harus lembut. Klop, kan?Kalo keras dilawan dengan keras, wah… benjut semua!”
Kali ini ia tertawa.

“Sekarang gini nih, coba satu cara untuk berkomunikasi efektif diantara sampeyan berdua. Ciptakan momennya. Dan sampeyan harus benar-benar pintar mencari peluang, maksudku ketika ia sedang nggak capek, nggak sibuk alias dalam kondisi santai. Nah, disitu sampeyan masuk! Ajak omong, sekali kali ngalem juga nggak haram kok. Lelaki mana sih yang kuat ketika kekasihnya bermanja-manja di dekatnya???”
Untuk yang satu ini temanku menatap penuh minat.

“Jangan pernah menyerah. Cinta itu harus diupayakan. Apinya harus tetap menyala, meski tidak harus berkobar-kobar. Kitalah yang harus mengaturnya, kapan ia harus menyala dengan kekuatan penuh, kapan ia harus menyimpan energi panasnya. Kayaknya sih nggak jauh-jauh amat dari menggunakan kompor untuk memasak makanan. Terus, jangan lupa mendoakan pasangan kita karena kita ingin kan berkumpul dengannya di alam yang kekal nanti,”

***
Aku paham benar bahwa bagi sebagian orang menciptakan komunikasi efektif diantara pasangan adalah hal yang tidak mudah. Tapi itu berarti bukan hal yang tidak mungkin, kan? Pernikahan adalah menyatukan dua pribadi yang berbeda. Semua orang kayaknya setuju dengan pendapat di atas. Cuma sayangnya, tidak setiap orang mampu memetik hikmah dari perbedaan yang Allah ciptakan tadi.

Makanya, kita harus mampu menjadikan diri kita sebagian orang yang mampu dan mau memetik hikmah di balik perbedaan itu. Islam mengajarkan pada kita untuk tak kenal lelah belajar memahami ayat-ayat Allah. Salah satunya, ayat Allah yang setia di sisi kita, pasangan kita. Terus terang saja, aku yang hampir 7 tahun ini mendampingi kekasihku itu kadang masih menemukan hal-hal yang baru dalam dirinya. Terkadang bergolak ibarat gelombang samudera namun tak jarang lembut sehalus lembayung senja.

Dan melalui serangkaian proses itu butuh kesabaran, ketelatenan. Untunglah kita, perempuan ini dibekali Allah dengan potensi tersebut. Tinggal bagaimana kita memadupadankan potensi tersebut dengan melihat sikon di sekitar kita.

Selamat belajar, kawan.
Selamat berjuang, kawan.

Comments

Popular Posts