Rasanya baru kemarin

Rasanya baru kemarin.
Aku dan kekasihku menatap bintang di depan teras (kalau bisa dikatakan demikian) mini rumah mungilku. Anak-anak baru saja kami tidurkan. Kupeluk lututku untuk mendapat posisi yang nyaman dan meminimalisir gigitan nyamuk-nyamuk nakal. Berdua kami menikmati gemintang yang entah mengapa, seperti kami, hanya sepasang. Sisanya adalah langit dan kegelapan.

Pemandangan di depanku hanyalah rumah-rumah kosong tak berpenghuni. Hanya ada satu bola lampu, itupun masih berjarak lima rumah dari rumah yang persis di depan rumahku. Sementara di samping kanan, berjarak tiga rumah dari tempat tinggalku adalah pagar pembatas perumahan sederhana ini. Di baliknya adalah bentangan sawah yang menghadirkan symphoni malam: suara jengkerik, nyamuk, kodok, yang berkolaborasi dengan dawai-dawai angin yang bergetar.


“Romantis ya, Mas, “kataku memecah sunyi.
Kekasihku itu hanya berdehem. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Kebanggaan memulai hidup baru, mungkin. Memiliki rumah sendiri meskipun kecil, lengkap dengan orang-orang yang dicintai: seorang istri dan tiga malaikat kecil. Aku pribadi sangat bersyukur atas karunia Allah ini.

Tiga hari sebelumnya kami pindah dari hiruk pikuk Surabaya dan menempati rumah sederhana di bilangan Tanggulangin, Sidoarjo. Rumah tipe 36 dengan ruang tamu, dua kamar, satu kamar mandi dan sebidang tanah di belakang. Kami menambahkan satu kamar, mushola, ruang keluarga, dapur, dan memindahkan kamar mandi ke belakang. Dengan demikian, rumah ini tampak lapang. Apalagi kami mengonsepnya secara minimalis (alias tanpa furniture) Alasan kami sederhana: anak-anak masih kecil. Mereka butuh ruang untuk bergerak. Alasan sebenarnya: belum ada anggaran untuk memilikinya (he he he) Begitulah, rumah ini istana bagiku. Istana bagi kekasih dan anak-anakku.

“Sampeyan tahu, Dik, sebentar lagi daerah sini akan ramai. Aku yakin nggak sampai setahun rumah-rumah kosong itu pasti sudah berpenghuni,” ujarnya kemudian.
“Mengapa Mas begitu yakin?”tanyaku.
“Kita lihat aja,” jawabnya pendek.

Tidak mudah hidup di perumahan baru sebagai pembabat alas, istilahnya. Hanya ada delapan keluarga dan lokasi rumah yang saling berjauhan terkadang menyisakan ketidaknyamanan bagi yang sudah terbiasa hidup di lingkungan yang sudah jadi. Tapi, inilah hidup. There’s always the first time.

Terus terang ada perasaan takut menggelayutiku tatkala senja menghilang. Malam datang. Sepi. Sunyi. Apalagi jika kekasihku itu dead line malam. Pernah suatu hari, kekasihku sedang pulang kampung. Tinggal aku bertiga dengan anak-anak dan seorang pengasuh mereka. Tiba-tiba pintu depan diketuk oleh seseorang. Ketika pengasuh anak-anakku itu membukakan pintu tidak ada seorang pun di sana! Ia segera mengunci pintu dan lari ke kamarku. Bukan hantu yang kutakutkan tapi maling.

Alhamdulillah, ternyata, prediksi kekasihku itu benar. Tidak sampai setahun rumah-rumah kosong itu telah berpenghuni.

***
Hidup ini memang penuh misteri.
Aku masih ingat betul saat itu aku sedang mengetik di depan komputer. Tiba-tiba saja kekasihku menunjukkan sesuatu. Kami menggantung kayu di plafon yang terbuka untuk menjemur pakaian. Tidak ada angin tapi kayu itu bergoyang-goyang pelan.

“Ada gempa, Dik,” katanya.
“Aku nggak merasakan apa-apa,”
“Coba lihat ini!” Ia menunjukkan pergerakan kayu jemuran itu.
“Dan ini, “ ia menarik tanganku dan membawaku ke depan. Ke sebuah daun pintu yang permukaan bawahnya bergerak pelan. Aku tidak mempercayainya karena aku tidak tahu tanda-tanda alam. Tapi kekasihku yang banyak belajar dari alam itu sangat bersungguh-sungguh menerangkannya padaku.

Di kemudian hari kutahu apa yang dikatakannya benar. Beberapa hari kemudian, lapindo dan tempat kami berrmukim menjadi berita di mana-mana. Lumpur lapindo menjadi kejutan dalam perjalanan rumah tangga kami.

***
Rasanya baru kemarin.
Tapi ini memasuki tahun ketiga aku dan kekasihku tinggal di negeri bencana ini. Tiga hari yang lalu, tanggul jebol dan banjir melanda desa Ketapang dan sekitarnya. Desa itu hanya berjarak 1-2 km dari istanaku ini. Para penghuni rumah segera menghambur keluar. Sampai-sampai aku melewatkan malam bersama para pengontrak yang tentunya sudah berpengalaman dengan banjir lumpur ini. Aku belajar bagaimana menghadapi hidup yang sesungguhnya.

Sementara kekasihku dan bapak-bapak lainnya memantau dari radio. Kulihat mereka berdiri di pos di ujung gang. Pos itu sering kugunakan piknik bersama kekasih-kekasih kecilku. Kalau hari libur aku biasa membawa mereka ke atas pos. Dengan berbekal makanan dan minuman, aku menyuapi mereka. Kuhamburkan cinta dan kasih sayang di setiap suapan makanan yang kuberikan. Kami duduk bersila, membaca doa sebelum makan, bercanda. Tak jarang Maman kuangkat, kutunjukkan betapa indahnya sawah-sawah yang menghijau di balik pos dan tembok pembatas tersebut. Si jabrik Safir, melompat-lompat, berteriak-teriak tatkala serombongan burung yang aku tak tahu namanya terbang melintas di langit persawahan. Bita, ia selalu saja menikmati lauk dengan sempurna. Ia akan mengikis habis daging dari tulangnya.

Dan kini, pos itu digunakan bapak-bapak untuk memantau keadaan. Bukan dalam kondisi relaks seperti yang biasa kugunakan namun dalam posisi siaga. Ah, akankah pos itu dan juga rumah-rumah ini akan jadi masa laluku?

“Kalau air itu sudah masuk ke sawah, itu artinya evakuasi harus dilakukan,” kata kekasihku menyampaikan hasil diskusi bapak-bapak.
Aku diam. Dalam hati aku hanya mampu bermunajat:
Skenario apa ya Allah yang Engkau siapkan untuk kami? Apapun itu, semoga Engkau memberi kami pertolongan dan perlindungan yang sempurna untuk kami, anak-anak kami. Bukakanlah pintu arsy itu ya Robbi, agar hati ini selalu lapang dan luas seluas samudera menerima semua karuniaMu ini.

Ya, rasanya baru kemarin.

Comments

Popular Posts