Menjadi Einstein Tanpa Terburu-buru


Judul buku : Einstein Never Used Flash Cards.
Penulis : Kathy Hirsh-Pasek, Phd., Roberta Michnik Golinkoff, Phd., dan Diane Eyer, Phd.
Penerbit : Kaifa
Cetakan : 1, November 2005
Tebal : 413 halaman

Drummer terkecil Julian Pavone yang baru berusia 1 tahun 9 bulan sudah mampu memainkan drum milik ayahnya untuk melantunkan nada musik rekaman West Bloomfield juga Michigan AS. Ia belajar drum sejak umur 3 bulan dengan dipangku sang ayah. (Jawa Pos, 09/03/2006)

Banyak anak-anak pintar usia dini seperti Pavone. Jika Pavone menggebuk drum, ‘Pavone-pavone’ lain mampu menghafal nama-nama negara beserta kepala negaranya; berhitung cepat menggunakan metode khusus yang saat ini tengah digandrungi atau piawai memainkan alat musik tertentu dan seterusnya.


Sebagai orang tua, kita sangat bangga memiliki anak seperti ini. Bangga lantaran kita berhasil menjadikan mereka memiliki kemampuan istimewa yang belum tentu dipunyai anak seusianya. Pujian dan sanjungan datang silih berganti. Inilah anak-anak ajaib abad milenium.

Namun, menyimak buku Einstein Never Used Flash Card, kebanggaan kita tadi bisa berujung kekhawatiran. Mengapa? Karena meminjam istilah David Elkind, mereka adalah the hurried child atau dalam bahasa populer mereka adalah anak-anak karbitan. Mereka sebenarnya matang sebelum waktunya.

Sebelum tiba waktunya, anak-anak tadi dipaksa melahap apa yang diajarkan orang tuanya. Mereka dijejali berbagai pelajaran dan pengetahuan yang sebenarnya belum waktunya untuk dikonsumsi. Singkat kata, kita telah mempercepat pertumbuhan intelektual dan memaksa mereka melewati masa kanak-kanak dengan cepat.

Menurut pengarang buku ini, ada banyak faktor yang menyebabkan orang tua bersikap demikian. Pertama, ada anggapan lebih cepat dan lebih dari segalanya adalah lebih baik. Semakin cepat anak menguasai salah satu kemampuan, semakin cepat pula orang tua menggiring mereka menjadi miniatur orang dewasa. Alhasil, orang tua pun tidak segan-segan ‘menginvestasikan’ uangnya guna mewujudkan impiannya.

Kedua, sadar atau tidak, kita telah menjadi manusia yang memuja kesuksesan. Kita menjadi sangat bangga memiliki anak seperti ini. Rasa bangga adalah manusiawi bila proporsional. Namun, apa artinya sebuah kebanggaan kalau harus mengorbankan si anak, mengorbankan masa-masa indah saat bermain, masa-masa mengeksplorasi dunia mereka?

Ketiga, orang tua merasa mahakuasa. Banyak orang tua meyakini mereka, dan hanya merekalah, yang bertanggung jawab atas pertumbuhan kecerdasan, kemampuan atletik, keberhasilan artistik, pengendalian emosi dan kehidupan sosial anak-anaknya (hal 377). Orang tua memandang dirinya sebagai penentu kecerdasan dan kemampuan sang anak.

Padahal, orang tua tidak bisa menentukan masa depan anaknya dengan menyediakan jenis pengalaman yang dihadapi anak-anak masa kecilnya. Orang tua harusnya bertindak sebagai rekan bijak yang menemani anak-anak menjalani lorong-lorong pertumbuhan.

Bermain = Bensin bagi Mobil

Penulis jadi teringat ketika masih mengajar di lembaga kursus bahasa Inggris yang cukup punya nama di Surabaya. Salah satu anak didik penulis adalah siswa SMU Negeri paling favorit di Surabaya. Ia menolak masuk kelas akselerasi padahal kemampuannya memungkinkannya masuk kelas ini. “Gak enak. Aku gak punya banyak teman. Anak-anak yang lain lagi senang-senang bermain, aku serius belajar. Aku ingin jadi manusia normal, Mom.”

Hikmah apa yang dapat kita petik dari ucapan siswa tadi? Waktu bermain mereka dirampas. Padahal, menurut buku ini, bermain sama dengan bensin untuk mobil. Bermain adalah bahan bakar untuk setiap aktivitas intelektual; menyediakan dasar kuat untuk pertumbuhan intelektual, kreativitas, dan penyelesaian masalah. Bermain juga menjadi kendaraan untuk pertumbuhan emosional, dan berbagai keterampilan sosial penting lainnya (hal 328). Bermain akan membangun keahlian intelektual yang kaya, luwes, dan fleksibel.

Bahkan jauh-jauh hari Albert Einstein sudah menandaskan, “Bermain merupakan unsur penting dalam kemampuan berpikir ilmiah yang produktif --- sebelum ada hubungan dengan logika dalam bentuk kata-kata atau tanda-tanda lain yang bisa dikomunikasikan dengan orang lain.” (hal 329). Jadi, bermain = belajar. Maka, sudah waktunya kita (orang tua dan pendidik) untuk mengubah paradigma tentang bermain.

Buku yang meraih penghargaan Books for a Better Life tahun 2003 ini tidak hanya piawai berbicara dalam tataran teoritis. Lebih dari dua pertiga halaman menyuguhkan panduan pengasuhan dan pengembangan anak pada tataran praktis. Diantaranya panduan bagaimana anak-anak bermain; belajar angka/ kuantitas, bahasa, dan membaca; mengembangkan konsep diri; dan mengembangkan kecerdasan sosial dan emosional.

Tentang pengembangan kecerdasan sosial-emosional, buku ini mengajak kita meluangkan waktu belajar berempati. Karena sang anak telah memukul temannya misalnya, kita katakan, “Karena kamu memukul kepala temanmu dengan mainan truk itu, dia mungkin akan merasa sakit dan menangis. Kamu mau itu terjadi?” (hal 309). Ucapan semacam ini mengajak anak memahami perasaan orang lain.

Empat Prinsip Utama

Menyadari bahwa mempercepat kemampuan intelektual anak dan merampas sebagian waktu bermain mereka adalah tindakan salah, buku ini mengusulkan empat cara sehat dalam mengasuh dan mengembangkan anak.

Pertama, belajar yang ada dalam jangkuan mereka. Maksudnya, menyajikan berbagai masalah yang ada dalam jangkauan mereka, yang masuk akal dalam konteks kehidupan sehari-hari. Karena ini akan menjamin belajar yang berarti dan asli.

Kedua, menekankan proses daripada hasil. Penekanan proses daripada hasil akhir akan menciptakan cinta belajar hingga belajar menjadi menyenangkan. Sebaliknya, penekanan hasil akhir daripada proses bisa menjadi bumerang dan menciptakan kelelahan, dan rasa tertekan pada anak.

Ketiga, EQ bukan IQ. Banyak orang yang memiliki IQ tinggi namun tidak sukses dalam kehidupan. Mengapa? Karena tanpa EQ, kemampuan sosialisasi, dan kemampuan pragmatis, orang genius pun akan mengalami kesulitan menjalani kehidupan ini. Salah satu hal yang memupuk IQ dan EQ adalah dengan bermain (387).

Keempat, belajar dalam konteks. Artinya, belajar harus berdasar konteks kehidupan nyata dan kegunaan yang bisa dipahami anak. Ini akan membuat belajar jadi menyenangkan; bukan sebagai tugas tetapi sebuah proses dalam menjalani kehidupan. Anak akan melepaskan rasa penasaran alami dan kreatifitas yang terpendam.

Akhirnya, buku ini tidak hanya mendekonstruksi dan meluruskan pandangan kita, orang tua, yang salah kaprah dalam mengasuh dan mendidik anak, tetapi juga menuntun anak belajar melalui pelbagai permainan yang sesuai usia sekaligus membangun inisiatif, kreativitas, rasa ingin tahu, empati dan kepercayaan diri. Jadi, tidak perlu terburu-buru menjadikan anak sekaliber Albert Einstein.

Comments

Popular Posts