Menikmati Kemacetan

Siapapun orangnya pasti tidak menyukai bahkan membenci yang namanya macet atau kemacetan. Entah kemacetan dalam urusan dapur, rumah tangga, pekerjaan, pergaulan sampai kemacetan selama perjalanan. Nah, kemacetan yang terakhir inilah yang menderaku akhir-akhir ini.

Sebelum pindah dan menempati rumah sendiri, aku hampir tidak ada masalah dengan kemacetan lalu lintas. Pasalnya, jarak antara rumah orang tua, tempat aku tinggal, dengan sekolah tempat aku mengajar memakan waktu hanya 20 menit dengan sepeda motor. Lagi pula, jalur yang kulewati tidak seberapa padat. Jadi, sejauh ini kondisi psikologis yang aku alami pada batas normal alias aman-aman saja.


Namun, ‘kedamaian’ ini sedikit ‘terusik’ ketika aku menempati rumah sendiri. Jarak rumah dengan tempat bekerja sekitar 45 menit --- satu jam menggunakan sepeda motor dengan kecepatan rata-rata 50-60 km per jam.
“Bi, kepalaku pusing,” keluhku suatu hari.
“Kenapa?” tanya suamiku ringan.
“Gak tahan macet,” jawabku.
“Kita beli camilan depan situ, yuk, ” ajaknya kemudian.

Dalam beberapa detik, suami langsung menepikan sepeda motor yang dikendarainya dan berhenti tepat di depan sebuah warung makanan. Aku membeli beberapa potong makanan ringan dan sebotol minuman.

Sejurus kemudian, kami sudah kembali melaju di jalanan Surabaya-Sidoarjo. Jalur ini terkenal sangat macet, lebih-lebih ketika jam berangkat atau pulang kantor. Macetnya minta ampun!
“Pusingnya berkurang?,” tanyanya.
“Lumayan berkurang bi,” jawabku sembari menikmati makanan ringan.

Aku memang gampang sekali pusing apalagi ketika kemacetan menyergap. Suara klakson dan knalpot yang memekakkan telinga, kepulan asap kendaraan dan debu jalanan serta laju kendaraan yang membuat miris. “Teror” ini harus aku alami selama lebih kurang 1 jam perjalanan kantor-rumah.

“Nikmati aja kemacetan ini. Kita tidak punya pilihan,” imbuh suami dengan suara merendah.
Awalnya sih aku cuek dengan omongan suami. Namun, diam-diam aku mencari jawab sembari 'menggugat' perkataannya. “Menikmati kemacetan?” tanyaku dalam hati. Kemacetan kok dinikmati.

Sejauh ini suami tetap enjoy aja, menikmati hiruk pikuk perjalanan. Padahal, menyetir kendaraan menuntut konsentrasi tinggi dan stamina prima. Sering, setelah mengantarku ke kantor, ia langsung pulang menghabiskan sebagian waktunya bersama anak-anak. Siangnya, ia ngantor dan sorenya menjemputku. Kalau ditotal, suamiku harus menghabiskan 3-4 jam di atas kendaraan!

“Apakah menikmati kemacetan senada dengan kemampuan memanage stres?”, “Inikah kemampuan mengubah energi negatif menjadi energi positif?” “Inikah kunci hingga suamiku begitu menikmati perjalanan berangkat-pulang kantor dan melontarkan perkataan tadi?” Pertanyaan itu datang bertubi-tubi.

Entahlah. Aku sendiri tak pernah menanyakannya. Namun suami aku selalu mengajarkan untuk bersyukur atas apa yang kita dapat. Termasuk memiliki rumah sendiri meskipun jaraknya cukup jauh dari tempat bekerja. Bukankah Allah akan menambahkan nikmatNya bilamana kita bersyukur terhadap nikmat yang kita terima. Sebaliknya, jika kita tidak mau bersyukur terhadap nikmat Allah, niscaya siksa Allah sangat pedih.

Satu hal yang kini menjadi kebiasaan dalam perjalanan pulang, sebelum rasa pusing mendera, aku mampir ke toko membeli beberapa potong makanan ringan juga sebotol minuman. Sering pula kami mampir di sebuah kios dadakan yang menjual koran dengan harga lumayan miring. Atau, saat laju kendaraan kami melambat, aku bercerita apapun atau meminta suami bercerita, baik tentang kantor atau kabar anak-anak di rumah.

Comments

Popular Posts