“Kobongan”


Beberapa hari yang lalu aku bermimpi. Seorang anak berbaju putih, tiduran di lantai. Anak itu seperti sedang sakit. Matanya seolah memanggilku.  Sontak ketika bangun ingatanku langsung menuju Salman, putra ketigaku yang sedang mondok. Segera kulantunkan doa semoga putraku selalu sehat dan dilindungi Allah. 

Kemarin, putra keduaku menerima raport sisipan semester ganjil. Dari suami, aku tahu bahwa raportnya “kobongan” . Istilah tersebut biasa digunakan para orang tua jika menemukan angka2 merah di raport. Aku santai saja, toh ini masih permulaan. Ketika sampai di rumah baru aku terkejut. Ternyata raport Safir benar-benar “kobongan” alias terbakar. Hampir semua nilainya merah. Aku menghela nafas. Mencoba mencari alternatif penyelesaian yang tidak menyakitkan semua pihak. Aku tidak ingin meledak dan menghancurkan semua yang sudah kubangun. 

Bakda solat Maghrib, tidak kusangka-sangka Safir mencium pipi kanan kiriku. Sesuatu yang jarang dilakukannya ketika ia sudah remaja seperti saat ini. Hatiku trenyuh. Ia menyorongkan kedua tangannya kepadaku. Memintaku meletakkan kepalanya di pangkuanku.  Aku teringat mimpiku. Ah,... dia membutuhkanku. Mata remaja dalam mimpiku itu serupa mata Safir yang berada dalam pangkuanku saat itu. Segera kuelus lembut kepala itu. 

Maafkan umi, sayang. Mungkin doa-doa umi kurang kuat untukmu. Mungkin pendampingan kami kurang. Terlalu kubiarkan engkau berlama-lama di depan komputermu. Mungkin karena perhatian kami terlalu tercurah pada adikmu yang sedang mondok sehingga engkau sedikit banyak terabaikan.
Ya Allah, segera kutahan air mata yang akan jatuh ini. Mungkin selama ini aku menganggap jabrikku itu sudah besar. Seumuran dia tentu dia bisa menjaga dirinya, membagi waktunya sedemikian rupa. Ternyata aku salah. Ia tetaplah si jabrik yang masih butuh pendampingan. 

“Enaknya gimana ya Mik, apa aku harus turun-turun kelompok terus baru kemudian aku naik ya?” tanyanya.  

Sekolahnya mengklasifikasikan kelas berdasarkan nilai-nilai siswanya. Sebelumnya ia berada di kelompok 5. Sekarang ia turun ke kelompok 7 dari 8 kelompok. 

“Ya, jangan Mas,” jawabku, “ Mulai sekarang harus berbenah. Gak perlu menunggu nanti-nanti. Tidak perlu haru turun kelompok lagi. Terlalu lama, nak. Yang sudah ya.. sudah. Nah, mulai sekarang harus dikelola lagi waktunya dengan baik,” imbuhku. 

Jabrikku terdiam. 

Aku segera berkoordinasi dengan suami. Mengevaluasi beberapa hal untuk proyeksi ke depannya. Ya Robb, syukur tak terhingga atas rahmatmu berupa anak-anak yang sehat dan tidak nakal. Safir termasuk anak yang tidak banyak tingkah dan permintaan. Untuk remaja seusianya ia tidak banyak neko-neko. Ia begitu nrimo dengan kondisi kami. 

Ya Allah, berikanlah kemudahan kepada kami untuk mengelola amanahmu ini. Jadikanlah kami orang tua yang salih dan salihah. Jadikanlah anak-anak kami rezeki, anak yang salih dan salihah. Tunjukkan kami jalan yang lurus. Berikanlah kami kemudahan, berikanlah anak-anak kami kemudahan dalam menjalani hari-harinya baik sebagai anak dan juga pelajar. Lindungilah mereka dari segala mara bahaya, penyakit, bencana dan hal-hal buruk lainnya. Aamiin.



Comments

Popular Posts