Menuliskan Pengalaman Pengasuhan

Alhamdulillah, kami dikaruniai empat anak—dua putra dua putri. Kata orang, kombinasi pas. Membesarkan empat anak bukan masalah mudah, apalagi kami berdua bekerja. Tentu dibutuhkan kerja sama yang bagus antara saya dan suami, kami dan anak-anak, maupun antaranak-anak sendiri. Keempat anak saya lucu, lugu, dan menggemaskan tetapi juga banyak tingkah. Pencila’an, begitu kata orang Jawa.

Energi mereka seolah tidak ada habis-habisnya. Karena itu kami memilih gaya minimalis. Artinya, tidak meletakkan furniture apapun di ruang tamu kecuali rak buku dipenuhi koleksi buku, beberapa meja kecil tempat komputer, laptop, printer, mini aquarium, dan televisi. Anak-anak jadi lebih leluasa bermain, bergerak, dan berlari.

Kadang mereka bermain badminton di sini ketika hujan mengguyur. Kami memilih lesehan untuk belajar, membaca AlQur’an, dan membaca buku setiap selesai sholat Maghrib. Tamu pun menyesuaikan kondisi ruang tamu tanpa sofa atau kursi. Meski demikian, kami selalu berusaha memuliakan tamu dengan kehangatan dan sikap semanak selaku tuan rumah.


Saya suka menulis. Dan anak-anak adalah sumur inspirasi tiada kering. Setiap hari saya menyaksikan mereka tumbuh dan berkembang. Tidak saja secara fisik tetapi juga perbendaharaan kosakata. Hingga suatu hari saya memutuskan menuliskan di blog kejadian sehari-hari yang saya alami dengan anak-anak.


Saya mencatat kalimat lucu, pertanyaan unik, dan tingkah pola lugu khas anak-anak. Ketika saya menceritakan kondisi surga yang enak, berhawa sejuk, banyak buah-buahan, dan pemandangan indah itu hanya untuk anak-anak yang baik, tiba-tiba Bita—putri sulung saya menyahut: “Aku pernah ke sana, Mik!” Adiknya tidak mau kalah, “Aku juga, Mik! Sama Abi aku dibelikan es krim di surga. Hmmm—uenak,“ sambil mengerjakan matanya yang bulat.


Ketika Safir– anak kedua saya tidak sabar menunggu pergi ke tempat perbelanjaan dia berkata, “Jamnya diputar aja supaya cepat!” Lain Safir lain Salman—putra ketiga. Salman ini pecinta hewan. Saya menjulukinya sang zoologist karena dia sangat piawai berurusan dengan hewan. Seolah ada lem di tangannya sehingga hewan apapun mudah dipegangnya. Semut, nyamuk, belalang, capung, dan kupu-kupu bisa ditangkapnya dengan gampang. 


Salman juga mencintai tumbuhan. Ketika bangun tidur ia akan meletakkan gelas plastik berisi air di sebelah pot bunga sembari berkata, “Ini minumnya.“ Bungsu saya seorang putri centil bernama Najma Fariha— kami memanggilnya Enji. Kedua kakak laki-lakinya suka bertualang di sawah depan perumahan kami. 


Suatu hari Safir pulang membawa laba-laba. Sontak Enji berteriak, “Awas Mas. Laba-laba itu bahaya!” Saya balik bertanya. Enji dengan tangkas menjawab,” Dijarum, Mik.. Sakiiiit,” katanya sambil mengarahkan jari telunjuk pada telapak tangannya. 


Begitulah, saya mengabadikan kenangan dalam bentuk tulisan. Ternyata, tanpa saya ketahui suami juga melakukan hal yang sama. Wow!!! Saya sempat tidak percaya. Akhirnya, kami saling bertukar tulisan. Saya jadi tahu bagaimana pikiran, perasaan seorang ayah terhadap anak-anaknya. Kami saling “memotret” perkembangan anak-anak. Pemahaman saya terhadap mereka menjadi lebih utuh salah satunya karena tulisan suami.


Hingga suatu hari kami mengumpulkan tulisan-tulisan tadi dan mencetaknya menjadi buku berjudul Celoteh Empat Malaikat yang kini melengkapi buku koleksi kami. Bangga dan haru yang luar biasa ketika anak-anak membaca buku kami. Apalagi saat ini mereka sudah besar. Sulung saya sudah 13 tahun umurnya. Ibu, ayo menulislah.


Oleh Hernawati Kusumaningrum, ibu empat anak dan tinggal di Surabaya.

Catatan: tulisan ini pernah dimuat di Harian Republika, 6 Januari 2015

Comments

Popular Posts