Menyadarkan Pentingnya Budaya Literasi bagi Warga Sekolah

Kita bisa belajar banyak dari para pejuang bangsa tentang pentingnya budaya literasi. Bapak proklamator kita—Ir. Soekarno adalah pembaca kuat dan orator hebat. Orasinya dikumpulkan dalam bentuk tulisan berjudul Di Bawah Bendera Revolusi yang versi aslinya bisa bernilai ratusan juta. Ia juga menulis tentang perempuan Indonesia, kenyataan yang dilihat di lapangan, harapan, dan sumbangannya bagi bangsa Indonesia dalam buku berjudul Sarinah. Goresan pena bung Karno mencapai 1200an tulisan.

Lain Bung Karno lain pula Bung Hatta. Pria yang selalu tampil serius ini sangat gandrung buku. Menurut putrinya, koleksi buku Bung Hatta mencapai 10000 judul buku. Beliau juga menulis banyak buku yang kalau dikumpulkan bisa jadi 10 jilid, masing-masing terdiri dari 5.000-6.000 halaman. Dalam otobiografinya, Untuk Negeriku, yang terpaksa dipecah menjadi 3 jilid karena versi aslinya sangat tebal—lebih dari 850 halaman, Bung Hatta sangat detail menceritakan setiap jengkal peristiwa yang dilaluinya.
Mulai dari hari, tanggal, jam, serta pakaian apa yang dikenakan pada saat peristiwa berlangsung. Selain itu Bung Hatta juga sangat ketat membagi waktunya. Ia berolah raga, berjalan-jalan, membaca buku-buku ringan selama dua jam di pagi hari. Pada siang hari, ia bekerja sebagaimana biasa namun di sela-sela waktu bekerjanya ia membaca. Pada malam hari, ia membaca buku-buku berat karena merasa lebih bisa berkonsentrasi. Dengan membaca, Bung Hatta menjadi negarawan dengan kontribusi gagasan yang brilian.
Dari sisi religius kita mengenal Buya Hamka yang menghasilkan puluhan judul buku. Beberapa karyanya bisa kita nikmati dalam bentuk film seperti Di Bawah Lindungan Kabah danTenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Meski seorang agamawan Buya Hamka juga sastrawan. Lalu, Muhammad Yamin, sang penulis Sumpah Pemuda yang wajahnya mirip tokoh rekaanya—Gajah Mada. Muhammad Yamin menulis banyak buku dan artikel yang diterbitkan pada masanya. Meskipun menimbulkan beberapa kontroversi tetapi Muhammad Yamin konsisten dengan menulis.
Natsir, negarawan yang agamawan ini seorang pembaharu dalam dunia pesantren. Ia mengenalkan piano dan ilmu administrasi pada pendidikan pesantren. Natsir menolak beasiswa yang ditawarkan pemerintah Belanda dan lebih memilih menghidupkan pesantren. Kehidupannya sangat sederhana tetapi buku tidak pernah terlepas dari pikirannya. Natsir menulis 60 judul buku.
Bung Karno, Bung Hatta, Yamin, Buya Hamka, Natsir adalah contoh para pejuang yang mementingkan budaya literasi di zamannya. Mereka percaya bahwa dengan membaca dan menulis akan memutus rantai kebodohan, rantai penjajahan. Bukankah kemerdekaan kita tidak hanya direbut dengan darah dan air mata tetapi juga dengan goresan pena? Berapa banyak aksi yang dilakukan para pemuda di zaman sebelum kemerdekaan karena tulisan yang dibakar oleh semangat nasionalisme?
Nah, sayangnya budaya literasi ini tidak terwariskan dengan baik. Seiring perkembangan zaman, anak-anak kita lebih senang menonton televisi daripada membaca. Mereka lebih menikmati beragam gadget daripada menekuni buku padahal di depan televisi anak-anak hanya diam pasif, menerima segala yang disuguhkan sementara ketika membaca imajinasi mereka akan berkembang. Parahnya lagi, tidak jarang orang tua juga memiliki kegemaran yang sama: menonton televisi, update status di fb, bbm-an, dan sebagainya.
Maka tak heran jika dalam beberapa survei yang dilakukan posisi Indonesia selalu menempati nomor buncit. Seperti data yang dilansir Organisasi Pengembangan Kerja sama Ekonomi–Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), budaya baca masyarakat Indonesia menempati posisi terendah dari 52 negara di kawasan Asia Timur (2009). Tahun 2011 berdasarkan survei United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) rendahnya minat baca ini, dibuktikan dengan indeks membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001 (dari seribu penduduk, hanya ada satu orang yang memiliki minat baca tinggi. Data United Nations Development Programme (UNDP) angka melek huruf orang dewasa Indonesia hanya 65,5% (2012).
Berdasarkan data Center for Social Marketing (CMS) lebih menyedihkan lagi. Perbandingan jumlah buku yang dibaca siswa SMA di 13 negara, termasuk Indonesia adalah: di Amerika Serikat, jumlah buku yang wajib dibaca sebanyak 32 judul buku, Belanda 30 buku, Prancis 30 buku, Jepang 22 buku, Swiss 15 buku, Kanada 13 buku, Rusia 12 buku, Brunei 7 buku, Singapura 6 buku, Thailand 5 buku, dan Indonesia 0 buku.
Membaca itu Mencerdaskan
Sudah saatnya kita keluar dari kondisi tersebut dan mendorong terciptanya budaya literasi di sekeliling kita. Memang butuh usaha kuat baik dari keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Maka yang dilakukan Bu Risma—walikota Surabaya yang mencanangkan Surabaya sebagai kota literasi pada hari pendidikan 2 Mei silam patut didukung sepenuhnya. Sekolah sebagai lembaga keilmuan harus memaksa warganya untuk membaca dan menulis. Membaca sangat penting bagi tumbuhnya pengetahuan, tajamnya daya analisa terhadap permasalahan, luhurnya budi pekerti dan tingginya tingkat spiritualitas. Baik bagi guru maupun siswa.
Lalu, bagaimana cara menyadarkan warga sekolah akan pentingnya membaca dan menulis? Yang dibutuhkan adalah adanya seorang inisiatoreksekutor, dan controllerInisiator tersebut tidak harus seorang pemimpin. Bisa saja ia seorang guru biasa tapi memiliki kepeduliaan tinggi terhadap budaya literasi. Jika penggagas ini seorang pemimpin akan mempunyai nilai lebih karena punya kekuatan mengeksekusi–memberlakukan program ini. Penggagas ini harus mampu menyuntikkan ke dalam sistem agar budaya literasi tidak berjalan sendiri. Setelah dieksekusi maka yang dilakukan adalah mengontrol agar tujuan program ini tercapai. Ketiga fungsi ini bisa dilakukan oleh satu orang atau lebih.
Seperti yang dilakukan SMP Al Hikmah Surabaya. Sejak 1 November 2014 sekolah yang berlokasi di Kebonsari Elveka V Surabaya ini memberlakukan program “Membaca itu Mencerdaskan”. Sebelum memberlakukan program ini tentu saja sekolah harus mengadakan sosialisasi kepada seluruh warga sekolah. Selain itu, pemasangan spanduk di setiap sudut sekolah dan banner menambah marak gerakan ayo membaca ini.
Bentuk riil program ini adalah memberikan waktu khusus membaca buku tiap Selasa dan Kamis sebelum memulai pelajaran selama 15 menit. Durasi 15 menit ini hanya pancingan untuk menumbuhkan kecintaan terhadap buku. Jadi, semua warga sekolah melakukan aktivitas yang sama: membaca buku. Mengapa hanya Selasa dan Kamis? Karena Senin dan Rabu adalah pembiasaan yang lain, membaca Al Quran. Hari Jum’at adalah saat wali kelas menyampaikan mutiara Jum’at, semacam motivasi yang diambil dari hadist dan sebagainya sementara Sabtu mereka libur dan guru-guru pelatihan.
Buku yang dibaca bebas. Mereka bisa membaca semua genre buku. Mulai komik, cerpen, novel, biografi, ensiklopedi, dan sebagainya kecuali buku pelajaran. Karena perpustakaan SMP Al Hikmah Surabaya cukup representatif maka anak-anak diwajibkan meminjam buku paling tidak sehari sebelum pelaksanaan. Lalu, bagaimana dengan anak-anak dan guru yang tidak membawa buku? Mereka harus menulis sebagai gantinya. Menulis apa saja. Puisi, cerpen, komik untuk menyebut beberapa. Tentu saja wali kelas akan dimintai pertanggungjawabannya. Sebaliknya, reward akan diberikan kepada pembaca buku terbanyak.
Menyudahi perbincangan ini, ada baiknya kita merenungi perkataan Charlie “Tremendous” Jones: You will be the same person in five years as you are today except for the people you meet and the books you read (lima tahun lagi Anda akan sama seperti sekarang kecuali ada dua hal: dengan siapa anda bergaul serta buku apa yang anda baca).
Oleh Hernawati Kusumaningrum—Guru SMP Al Hikmah Surabaya, Guru Berprestasi Kota Surabaya 2014, dan Juara II LKIG LIPI 2012
Catatan: tulisan ini pernah dimuat Majalah LPMP Jatim Edisi Mei-Desember 2014

Comments

Popular Posts