Lomba Hemat Listrik, Siapa Takut?

Enam puluh sembilan tahun lalu Indonesia merdeka. Umur setengah abad lebih ini seharusnya Indonesia berhasil menata diri, semakin matang, dan menuju kedewasaan. Negeri ini mustinya semakin memampukan diri menyelesaikan masalah-masalah internal yang membelit di awal-awal kelahiran dan memfokuskan diri pada masalah-masalah eksternal. Idealnya seperti itu.

Tapi Indonesia adalah sebuah perkecualian. Banyak masalah internal yang seharusnya terselesaikan sejak lama namun hingga sekarang belum terpecahkan. Contoh sederhana adalah masalah kelistrikan. Sampai hari ini kita masih dipusingkan masalah keterbatasan pasokan listrik, distribusi tidak merata, listrik hanya dinikmati kota-kota besar dan desa-desa dalam kegelapan, pemadaman bergilir, maraknya pencurian, tarik-ulur tarif dasar listrik, upaya setengah hati pembangunan pembangkit listrik tenaga alternatif (panas bumi, tenaga surya, biomassa, gelombang laut, tongkang jagung juga ampas tebu) dan buruknya infrastruktur kelistrikan Indonesia dari Malaysia dan Vietnam.


Pelbagai gagasan digulirkan dan beragam upaya dicobakan. Pemerintah pun mencanangkan Gerakan Nasional Hemat Energi (BBM dan Listrik) pada Mei 2012 silam, sosialisasi dan edukasi hemat listrik, ‘impor’ listrik dari provinsi lain (kerjasama Pemprov Jateng-Provinsi Kalteng berupa PLTU Mulut Tambang), penambahan pembangkit baru basis batubara, ujicoba pembangkit dari energi terbarukan atau pembelian listrik dari swasta. Sayang, semuanya itu belum menyelesaikan masalah. Bayang-bayang krisis pasokan listrik terus mengancam. Padahal sebentar lagi kita memasuki pasar bebas AFTA 2015.

Pada saat yang sama, kita senantiasa berpikir ketika terjadi kekurangan solusinya adalah penambahan. Tepatnya penambahan pembangkit listrik tenaga batubara. Mengapa batubara? Daya yang dihasilkan pembangkit tenaga batubara jauh lebih besar dibanding pembangkit tenaga alternatif. Ini solusi instan dan paling gampang. Kita enggan berpikir jangka panjang apakah teknologi ini tetap ramah lingkungan, seberapa banyak pasokan batubara yang kita punya, berapa effort yang dikeluarkan dibanding pembangkit alternatif. Itu urusan belakangan yang penting pasokan terpenuhi.

Masyarakat modern adalah masyarakat konsumtif. Mulut masyarakat konsumtif tidak mengenal kata banyak. Seberapapun banyaknya, mulut mereka senantiasa lapar dan rakus. Mereka menyalakan AC, home theater, TV dan komputer bersamaan padahal tidak semuanya dibutuhkan sekaligus. Mereka berprinsip: saya punya uang, saya berhak mendapatkan apapun yang saya mau. Betul, uang mereka tetapi sumber daya alam yang dipakai membangkitkan listrik itu adalah milik umum.

Di lain pihak, kita jarang berpikir out of the box. Bagi orang yang berpikir out of the box, ketika terjadi kekurangan, solusinya bukan menambah tetapi memaksimalkan yang ada. Berhemat! Sebanyak apapun pasokan listrik jika tidak dibarengi kebiasaan berhemat akan tetap terasa sedikit dan kurang. Jadi, saatnyalah pemerintah (PLN) lebih menggalakan gerakan menghemat listrik. Bukan sekadar gerakan tetapi ada action nyata berkesinambungan. Saya mengamati kiprah PLN dalam menyosialisasikan hemat listrik masih setengah hati. Sosialisasinya insidental, tidak dikawal serius, dan tanpa follow-up. Sosialisasinya (baca: iklan) cenderung informatif dan normatif.

Perhatikan iklan informatif berikut: Listrik Pintar: Kendali di tangan anda, bebas biaya keterlambatan, meter digital lebih akurat; Listrik rumah Anda sering jepret? Segera tambah listrik selagi GRATIS; Matikan yang tak berguna, Nyalakan yang berhasil guna.

Atau iklan normatif ini: Mari Hemat Listrik, Nyalakan Secukupnya, Matikan Selebihnya; Hemat listrik bukan berarti kita harus kembali ke masa lalu; Eits, jangan lupa 17-22! (artis Rieke Dyah Pitaloka), …Kebiasaan buruk ada yang lupa dimatiin, tape, televisi, AC. Dipikir listrik gratis … (artis Lidya Kandau).

Sayang seribu sayang, sosialiasi berhenti di tataran teori, hanya sebatas iklan layanan. Belum ada langkah nyata yang mampu menggugah, mendorong, dan mengimplementasikan sosialisasi tersebut. Menurut saya, PLN harus menindaklanjuti sosialisasinya dengan menggelar lomba hemat listrik, misalnya.

Langkah-langkahnya?

PLN dapat menggelar kompetisi hemat listrik antarsekolah, kampus, RT, RW, desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, perusahaan hingga antar-instansi pemerintah. PLN pasti memiliki data penggunaan listrik hingga tingkat RT. Untuk memudahkan ilustrasi dan sebagai pilot project, kompetesi diawali dari kompetisi antardesa satu kecamatan.

Setelah lomba diumumkan, PLN menginformasikan jumlah penggunaan listrik di Desa A misalnya 20MW, Desa B 60MW, dan seterusnya. Data ini akan dibandingkan dengan jumlah penggunaan dalam tiga atau enam bulan ke depan. Pemenangnya adalah desa yang dapat, minimal, mempertahankan atau bahkan menurunkan jumlah penggunaan listrik dibanding bulan-bulan sebelumnya. Pemenang berhak mendapatkan reward, semisal, token listrik yang nantinya dapat dihibahkan ke tempat-tempat ibadah (masjid, mushola, gereja, klenteng, pura dll) atau yayasan sosial. Selain itu, PLN memberikan penghargaan kepada desa pemenang tadi.

Saya yakin kompetisi ini menemukan banyak kendala dan persoalan yang belum terpikirkan sebelumnya. Namun tidak menutup kemungkinan muncul gagasan dari masing-masing desa tentang kiat berhemat listrik. Belajar dari kompetisi tingkat desa, PLN melanjutkan kompetisi antarsekolah, kampus, kecamatan, kabupaten, perusahaan, instansi pemerintah bahkan antar-BUMN. Untuk kompetisi antarlembaga/perusahaan, panitia sebaiknya memberi award yang dapat mendongkrak citra, branding, dan value-added lembaga/perusahaan bersangkutan. Pemerintah juga harus mempublikasikan bahwa instansi atau perusahaan A berhasil melakukan penghematan listrik dalam kegiatan operasionalnya tanpa menurunkan produktivitas.

Agar kompetisi ini berjalan lancar, sebaiknya PLN lebih dulu melakukan simulasi dengan melibatkan pihak ketiga sebagai konsultan. Simulasi akan menggali potensi masalah dan kendala teknis-nonteknis di lapangan. Pihak ketiga juga diikutsertakan sebagai auditor untuk menjaga transparansi kegiatan dan akuntabilitas PLN.

Dananya?

Untuk mendukung kompetisi hemat listrik, PLN dapat mengambil dana operasional dari anggaran promosi dan menggandeng pihak swasta. Saya yakin selagi ada kemauan dan niat baik, semua ada pemecahannya. Sementara, untuk reward dapat diambilkan dari dana CSR (corporate social responsibility). CSR merupakan pertanggungjawaban sosial sebuah perusahaan kepada masyarakat. Perusahaan-perusahaan sekarang dianjurkan menyisihkan satu persen dari laba bersih (CSR) untuk mendanai pelbagai aktivitas sosial seperti pengentasan kemiskinan, peningkatan kualitas kesehatan, pendampingan desa tertinggal, peningkatan pendidikan, dan sebagainya.

Dibarengi dengan Peraturan

Tidak semua orang punya kesadaran untuk berhemat, entah disebabkan tingkat pendidikan atau kebiasaan dan gaya hidup. Menyikapi individu-individu seperti ini, kesadaran harus dipaksakan. Pemerintah dapat menyiasati dengan mengeluarkan peraturan penghematan listrik ke BUMN, instansi, dan kantor pemerintah serta fasilitas umum. Inpres Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Penghematan Energi dan Air adalah contoh peraturan yang patut diapresiasi. Namun, jangan sampai Inpres tersebut bernasib serupa dengan peraturan lain yang dilahirkan di negeri ini: perkasa di atas kertas, mandul di lapangan.

PLN: Pelopor Penghematan

Ketika masyarakat berhasil membuktikan hermat listrik tanpa mengorbankan produktivitas dan bukan hidup dalam kegelapan, maka hasil kompetisi ini dapat menjadi teladan bagi penghematan di sektor lain: penghematan air, penghematan bahan bakar minyak (BBM), penghematan cadangan sumber daya alam. Sebuah capaian yang membanggakan dan mengharukan. PLN menjadi pelopor penghematan! Kepada PLN dan BlogDetik, saya salut dengan lomba ini.

Hernawati Kusumaningrum adalah guru SMP Al Hikmah Surabaya

Comments

Popular Posts