Perempuan Berkalung Surban

CITO, 12.45. Itu artinya, kami terlambat 15 menit dari jam tayang yang dijadwalkan.
Seorang teman terpaksa tidak bisa masuk karena STNKnya ketinggalan. Benar saja, sesampai di loket film yang kami incar sudah main 15 menit yang lalu. Tak apa.


Perempuan Berkalung Surban. Sebuah simbolisme yang menarik. Surban mewakili gender laki-laki. Bisa diartikan seorang perempuan seperkasa laki-laki. Atau bisa jadi perempuan di bawah kendali laki-laki.

Mengikuti scene demi scene jelaslah bahwa film ini memihak perempuan. Annisa, anak seorang kyai sebuah pesantren di Jawa yang memiliki cita-cita tinggi. Jatuh cinta pada seorang kerabat jauh yang dipanggil lek Chudori, seorang pemuda lulusan Cairo. Selepas SMU secara diam-diam ia mengirim surat lamaran beasiswa ke sebuah Perguruan Tinggi di Jogya dan Kairo, Mesir.


Alih-alih ke Kairo, keinginan ini terpaksa sirna karena budaya pesantren yang mengukung hidup perempuan. Perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena surga bisa didapat dari tunduk patuh pada suami. Melayani suami dan menjadi ibu bagi anak-anaknya. Annisa dinikahkan dengan seorang anak kyai, Samsudin—yang kelak diketahui banyak membantu
jalannya roda pesantren ayahnya namun dengan niat terselubung: menikahkan anaknya yang berandal agar segera berhenti keberandalannya.

4 tahun kemudian diceritakan bahwa kehidupan Annisa benar-benar hanya berkumpar antara dapur, kasur, dan sumur. Pun, ia mengalami apa yang banyak ditakutkan perempuan: KDRT (kekerasan dalam rumah tangga). Tidak jarang tangan melayang, kaki menendang. Bahkan untuk urusan ranjang sekalipun, ia tidak kuasa menolak karena hadist-hadist yang mengutuk perempuan yang menolak suaminya segera meluncur dari mulut laki-laki biadab ini. Hingga suatu saat Annisa merasa sudah tidak tahan. Ia meraih belati dan mengancam membunuh Samsudin. (Sampai disini saya segera teringat dengan novel Khaled Hussein, A thousand Splendid Sun) Ketika ia memutuskan untuk meninggalkannya, Samsudin segera meminta ampun dan menyembahnya. Annisa menyerah karena Samsudin telah tobat.

Belum lama merasakan kebebasan dari belenggu laki-laki, ia dihadapkan pada kenyataan bahwa Samsudin menghamili seorang perempuan dan harus menikahinya karena agama mengijinkan laki-laki mengawini 4 orang perempuan . Konflik batin terjadi lagi karena ternyata Samsudin menempatkan istri muda ini serumah dengannya. Nyaris, ia jadi pembantu. Ia harus merawat bayi madunya sementara perempuan itu sedang bermesraan dengan suaminya.

Spirit Kebebasan
Kebebasan, sebuah kata impian bagi Annisa. Maka tatkala ia bertemu dengan lelaki dari masa lalunya, lek Chudori, ia tumpahkan semuanya. Bahkan ia merelakan dirinya dizinahi agar segera terbebas dari belenggu Samsudin. Ibarat nabi Yusuf bertemu Zulaikha, Chudori menolak solusi yang tidak solutif tersebut. Terlambat, Samsudin menemukan keduanya dan meneriakkan rajam sebagai hukuman para pezina. Untunglah kehadiran sang ibu membatalkan hukuman tersebut. Singkat cerita, Samsudin menceraikan Annisa. Ia segera menyongsong kebebasannya dan menjemput impian di Jogya.

Disana ia bertemu dengan teman lamanya yang telah menjadi seorang mahasiswi. Ia dihadapkan bahwa kebebasan yang lain, dunia mahasiswa yang bebas tanpa batas. Bahkan kehidupan seksual yang suci dicederai dengan fenomena free seks. Apakah kebebasan seperti ini yang dicarinya?

Pengalaman KDRT dalam rumah tangga Annisa membawanya pada sebuah Women Crisis Center, sebuah lembaga advokasi perempuan. Ia terjun secara aktif melakukan advokasi pada perempuan yang kurang beruntung dalam berumah tangga. Disamping itu, ia juga melemparkan wacana kebebasan kepada pesantren tradisional ayahnya yang diwariskan pada kakak laki-lakinya yang masih menganut paham patriarkhi.

Dari sini bisa kita lihat keperkasaan Annisa sebagai perempuan. Pernikahannya dengan Chudori membuahkan seorang anak yang terpaksa menjadi yatim karena ayahnya meninggal karena kecelakaan. Annisa berduka. Tapi kemudian ia bangkit dan berjuang menyembuhkan sang luka dengan mewujudkan impiannya bagi para anak perempuan: kebebasan dalam menentukan kehidupan, menuntut ilmu dan meraih cita. Bukan kebebasan yang kebablasan.

Akhirnya, dengan kepercayaan diri yang dalam dibuangnya sang surban pengalung lehernya: dominasi laki-laki dalam hidupnya.

Comments

Popular Posts