Perempuan, IT, dan Pergeseran Budaya

Kalau Anda sempat membaca buku The Girls of Ryadh karya Rajaa Al Sanea, terbitan Ufuk Publisihing House (Desember 2007) maka anda akan sedikit tercengang karena di dalamnya tersebar fakta tentang perempuan dan pergeseran budaya. Buku yang mengklaim dirinya sebagai internasional bestseller ini versi aslinya diluncurkan dalam bahasa Arab pada 2005, dan secepatnya dilarang beredar di Saudi karena isinya yang menghebohkan.

Buku ini menceritakan tentang seorang tak dikenal yang setiap minggu—setelah sholat Jum’at-- mengirimkan email bersambung kepada para wanita yang melakukan chatting di sebuah grup on line di Saudi Arabia. Email-email tersebut berisikan kisah nyata kehidupan empat sekawan gadis Ryadh: Qamran, Michelle, Shedim, dan Lumais. Email-emailnya sangat dinanti publik karena berisi kisah-kisah yang cukup kontroversial dengan budaya ketimuran mereka. Mayoritas tentang relasi lawan jenis yang tanpa tedeng aling-aling dikupas secara terbuka. Sebuah topik yang cukup menggemaskan untuk dibicarakan.


Media baru yang bisa menjadi sebuah life style baru bagi generasi muda muslim di Arab sana. Simaklah apa yang dikatakan Lumeis: Internet hanyalah media untuk tertawa dan menemukan banyak hiburan. Ini adalah satu-satunya wilayah anak muda yang aman dari pengawasan petugas Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Internet menjadi pilihan karena pertemuan di alam nyata dilarang oleh undang-undang dan nilai sosial. (hal 249)

Begitulah. Internet telah menjadi bagian hidup manusia modern. Email, chatting, friendster, dan blog hanyalah sebagian kecil dari dunia maya tersebut. Maka, fenomena tersebut harus dilihat dari dua sisi. Di satu sisi, kemajuan tehnologi telah membawa angin perubahan pada zona budaya. Tampak jelas adalah bagaimana kita sekarang bisa mengakses segala hal dalam waktu singkat. Apa yang terjadi di belahan bumi yang lain bisa kita terima dalam detik yang sama dengan di dunia barat. Tak terkecuali perempuan muda-terdidik, sebagaimana yang terjadi di Arab Saudi. Kehadiran IT menjadikan dunia ini tak berbatas ruang dan waktu.

Namun di sisi lain, kemajuan dunia IT ternyata juga bisa digunakan sebagai propaganda Barat dalam menyerang Islam. Bagaimanapun juga, media dipercaya sebagai aset terbesar dalam menyebarluaskan paham tertentu. Bahkan karena ada ruang yang hilang, bisa jadi hilang juga pranata sosial yang mengiringinya.

Tidak kalah pentingnya, perempuan merupakan makanan empuk dalam hal ini. Lihat bagaimana anda bisa mengakses gambar-gambar/pesan-pesan porno di hp, dan situs-situs internet dengan mudah. Bagaimana iklan yang merupakan produk kapitalisme begitu menjerat perempuan. Pencitraan terhadap kecantikan yang salah kaprah, gaya hidup yang dibawa oleh para trend setter bisa dengan mudah kita temui bahkan telah memasuki ranah paling pribadi, ruang tidur kita. Ya, televisi.

Meski tidak sama persis, tapi novel The Princess, masih terbitan Ufuk (2007) karya Jean P. Season juga menyoroti budaya Arab yang banyak mengungkung perempuan. Novel ini ditulis oleh orang non muslim yang kebetulan punya sahabat seorang putri kerajaan Saudi, Sultana’s daughhter. Novel ini segera menjadi best seller karena sebagian besar isinya mengupas kehidupan putri kerajaan yang notabene muslimah dengan keterkungkungannya. Sebuah potret perempuan Arab yang biasanya selalu diidentikkan dengan Islam. Saking terkungkungnya mereka, sampai-sampai mereka harus menjalani back street untuk berhubungan dengan lawan jenis. Parahnya, di bagian ini juga dikupas bagaimana mereka mengadopsi life style barat yang cenderung bebas tanpa batas, termasuk dalam sexual behaviour.

Sebagai muslim, kita harus sadar melihat kenyataan ini. Kita harus mewaspadai buku-buku yang sepertinya isinya Islami (karena judul dan covernya mengenakan identitas Islam) namun kenyataannya justru jauh dari nilai-nilai Islam. Bagaimana bisa dikatakan novel Islami jika isinya penuh dengan budaya Barat yang notabene serba terbuka. Berhati-hatikah karena Barat telah menggencarkan serangannya. Lewat pemikiran tentunya.

Baru-baru ini di Jerman telah digulirkan kampanye menentang Islam (radikal) dalam bentuk komik Andy. Komik bergambar ini menceritakan seorang pemuda Jerman bernama Andy yang mempunyai pacar seorang muslimah berjilbab bernama Aishee. Mereka digambarkan bergandengan berdua dan ingin menyelematkan kakak Aishee yang bergabung dengan Islam militan. Dan komik ini disebarluaskan di sekolah-sekolah dasar dan menengah di Jerman sebagai upaya negeri ini memproteksi generasi mudanya dari sikap militan Islam. Menurut pembuatnya, komik ini tidak ditujukan memusuhi Islam tapi hanya untuk memberikan wawasan kepada anak-anak Jerman tentang Islam yang radikal dan yang cinta damai.

Nah, media-media semacam inilah sekarang yang sedang mengancam Islam. Bisa jadi ini merupakan tahap peperangan selanjutnya karena melalui konflik bersenjata, Barat yang mula-mula memenangkan pertempuran akhirnya mengalami kekalahan. (baca: Perang Salib karya Carole Hillenbrand, 2006) Dan siapa yang akan rela jika mengalami kekalahan?

Kekalahan Barat dalam perang salib jangan sampai membuat kita terlena karena ternyata mereka telah menyiapkan strategi selanjutnya. Mereka menggempur Islam dengan kekuatan ekonominya. Barangkali kita tidak bisa berbicara banyak kalau sudah berhubungan dengan bidang yang satu ini karena Islam sangat identik dengan Negara dunia ketiga. Sekumpulan minoritas di belahan bumi ini.

Berkaitan dengan hal ini, Rudolf H Strahm dalam buku Yang Berlimpah Dan Yang Merana (1983) memberikan data yang cukup menyesakkan. Ia menyebut kondisi ini sebagai sistem ekonomi penghisapan. Penghisapan dari Dunia kesatu terhadap dunia ketiga. Disebutkan bahwa 30 % penduduk dunia yang hidup di dunia kesatu menguasai dan menikmati 82% sumber daya dunia yang ada. (hal viii) Meskipun ini buku lama, data empiris ini cukup menunjukkan kepincangan yang tajam.

Secara ekonomis mungkin kita kalah. Namun masih (selalu ada) ruang yang bisa diperjuangkan. Sebagai seorang muslim, kita harus mengambil bagian dalam concern ini. Semoga.

Comments

Anonymous said…
Banyak sekali buku-buku bertajuk Islam, tapi isinya justru kampanye tetang paham liberalisme atau pluralisme, seperti Beriman tanpa Rasa Takut karya Irsyad Mandji.

Tapi kekuatan media besar justru memuji buku-buku tersebut.

Apa yang bisa kita perbuat? Membuat resensi alternatif dengan buku Islam betulan. Tentu dengan tulisan yang menarik agar bisa dimuat koran ternama.

Popular Posts