MENJADI SUFI METROPOLIS

Judul Buku: The Road to Allah
Penulis: Jalaluddin Rahmat
Penerbit: Mizan
Cetakan: I, Oktober 2007
Tebal: 335 halaman

Apa yang ada di benak Anda ketika mendengar kata sufi atau tasawuf? Anda tidak salah ketika mengatakan tasawuf identik dengan kemiskinan, kelusuhan, bahkan kekotoran. Sebagian besar kaum muslim bahkan takut menyentuhnya, mempelajarinya karena citra negatif di atas.
Namun anggapan di atas akan segera sirna ketika kita membaca The Road to Allah. Buku ini merupakan kompilasi pemikiran Jalaluddin Rahmat dan pencarian jati diri yang panjang selama safar (perjalanan) ruhaninya di masjid Al Munawaroh. Sang editor yang kebetulan putra Kang Jalal sendiri mengumpulkan transkrip ceramahnya selama periode romantisme religus tersebut. Kang Jalal mengenalkan sekaligus membuka mata kita bahwa tasawuf sejati tidaklah demikian. Ia menunjukkan bahwa menjadi pecinta Allah nan sejati adalah sebuah perjalanan yang kaya romantika.

Ya, serangkaian perjalanan yang tidak menjadikan kita mandeg, eksklusif, dan mati secara sosial. Justru perjalanan yang menjadikan kita lebih dinamis dan inklusif dalam memaknai hidup. Kita tetap bisa menjadi manusia profesional, berkomunikasi dengan dunia luar, menjalin relasi luas dan tidak haram menjadi kaya. Kita tetap bisa nyufi meski hidup di era metropolis karena sufi adalah urusan hati, urusan ruh yang diwujudkan dalam kesalehan sosial. Poin penting inilah yang sesungguhnya dibidik Kang Jalal ketika menyampaikan gagasan dan pemikirannya.

Tahap-Tahap Safar Ruhani
Selain menyajikan tasawuf teoritis, buku ini juga dibekali dengan pedoman praktis yang bisa kita amalkan. Dibagi dalam lima bab yang di setiap babnya merupakan tahapan perjalanan manusia dalam mencari Tuhannya.
Bab pertama menyajikan peta, pedoman, pondasi sebagai bekal sebelum melakukan safar. Pembaca akan banyak dicekoki dengan teoritis tasawuf cinta, bagaimana memaknai cinta yang sesungguhnya. Bab kedua merupakan pengejewantahan teoritis idealis di atas karena Kang Jalal mengajak kita menghadapi realitas kehidupan. Sebuah proses perjalanan yang ternyata menghadirkan banyak kejutan. Perbedaan madzab, pilihan-pilihan yang harus diambil, untuk menyebut beberapa.
Sebagai contoh, kisah tentang Nasruddin yang terkena cekal karena ceramahnya dianggap subversif oleh ulama. Ia mengatakan bahwa filsuf dan kalangan cerdik cendekiawan adalah manusia bodoh, bingung, dan tidak bisa mengambil keputusan. Ketika mereka mengadukan hal ini pada raja, Nasruddin meminta raja menyuruh mereka menjawab sebuah pertanyaan: Apa yang disebut dengan roti? Ternyata setiap mereka memberikan jawaban yang berbeda. Lalu Nasruddin mengatakan, kalau untuk urusan roti saja mereka tidak mempunyai kata sepakat, apalagi untuk menentukan urusan lain seperti menilai tentang khutbahnya. (hal 78)
Kisah Nasruddin seakan hendak menyampaikan kepada kita semua bahwa di atas keberagamaan yang terpecah dalam berbagai madzab, terdapat satu keberagamaan yang disepakati bersama, yakni substansi ajaran agama itu sendiri. Ke sanalah para sufi menuju. Kisah-kisah ringan seperti di atas yang mewakili nuansa kehidupan itu sendiri banyak mewarnai isi buku ini.
Selain itu tidak lengkap kiranya jika menyoal tasawuf tidak menyentuh penyakit hati. Menurut para sufi, penyakit-penyakit tersebut merupakan penghalang safar itu sendiri. Takabur, ujub, riya, ghibah, sebagai contoh yang pembaca bisa dapatkan di bab tiga. Dan, kang Jalal melengkapinya dengan tips-tips untuk mengobatinya di bab selanjutnya. Bagaimana mengendalikan diri, nafsu, memperoleh hati yang khusuk, untuk menyebut beberapa. (hal 203-284) Akhirnya, safar ditutup dengan pertemuan manusia dengan Tuhannya di bab terakhir.
Kang Jalal menuliskannya dengan bahasa tutur yang tidak njlimet, menghiasnya dengan doa-doa indah para imam, kutipan kisah dari Al Ghazali, dan bait-bait puisi Jalaluddin Rumi menjadikan buku ini segar dan kaya nuansa. Buku ini patut dibaca siapa saja yang ingin menyempurnakan safar ruhaninya menuju Allah. Fafirruu Illallah, berlari menuju Allah.
Menjadi sufi tidak harus meninggalkan segala kegiatan dan menyembunyikan diri di sudut masjid atau gua di tengah hutan. Sufi sejati bukan tidak memiliki dunia tetapi tidak dimiliki dunia. Artinya, sufi juga harus cerdas, melek IT, mampu mengoperasikan satelit, menjadi llmuwan, dan boleh kaya-dermawan. Jadi, menjadi sufi metropolis, mengapa tidak?

Comments

Anonymous said…
sebaiknya dikirim dulu ke media cetak; lebih banyak dibaca orang!

Popular Posts