Aku Selalu Terpesona dengan Alam

Ketika subuh datang. Langit biru kehitaman merangkak pelan membiru muda. Kemudian muncul semburat kemerahan di ufuk sebelah timur. Ditingkahi nyanyian burung yang baru membuka matanya, sentuhan udara bersih yang segar menjadikan pagi atmosfer yang nyaman bagi hidup.

Seperti pagi tadi ketika kulangkahkan kakiku menuju mobil yang membawaku ke tempat kerja. Hampir satu bulan ini aku ke kantor memakai mobil karena kebaikan rekan kerjaku. Dia merelakan mobilnya dipakai secara berjamaah ke kantor. Subhanallah, Allah itu sungguh telah menyiapkan segala sesuatunya. Ketika malaikat kecil ini makin tumbuh, Allah menyiapkan kemudahan transportasi bagiku.


Pagi yang cerah. Dari stasiun radio kudengar SBY mencanangkan gerakan menanam kedelai. Ketika aku membaca di koran-koran kalau ternyata kita mengimpor kedelai, rasanya aku tidak percaya. Negeri agraris seperti ini kok kedelai aja ngimpor, dari Amrik lagi.

Ketika harga kedelai meroket, pengusaha tempe dan tahu klepek-klepek nggak karuan. Itu artinya, tempe akan menjadi makanan langka di rumahku. Asal tahu saja, setiap hari aku menstok tempe dan tahu untuk lauk pauk selingan. Sepertinya di sebagian besar masyarakat kita tahu-tempe menjadi makanan favorit. Pagi-pagi bisa digoreng untuk sarapan. Kalau sore lagi hujan, bisa bikin tahu gejrot. Bisa dibayangin, super duper yummy.

Namun kini aku bisa membayangkan wajah-wajah pengusaha tempe dan tahu tidak akan secerah nuansa pagi ini.

***
Aku selalu terpesona dengan alam.
Pulang melewati jalan tol. Langit sore ini begitu cerahnya. Tampak sisa bola mentari di lengkung langit putih kebiruan. Bundaran mentari di ufuk barat itu sangat eksotik. Warna putihnya baru kali ini kusaksikan dengan mata telanjangku. Keperakan?tidak juga. Yang pasti, bikin aku terpesona.

Semakin lama bundaran mentari itu hilang ditingkapi langit. Muncul kembali dan memamerkan sinarnya yang biasa aku saksikan ketika mengajak ketiga anakku jalan-jalan mengitari kompleks perumahan. Maman selalu minta diangkat tinggi-tinggi untuk menyaksikan bola mentari di langit sore hari.

Dan memang alam telah memberikan tanda. Ketika mentari bersinar penuh seperti saat ini aku bisa menyaksikan orang yang lalu lalang di jalanan tampak lebih sumringah ketimbang ketika hujan mengguyur alam. Wajah-wajah yang ditekuk, bersembunyi di balik payung, mengkerut di dalam jas hujan karena kedinginan, belum lagi yang harus menangis karena air bah, dsb.

Berita kelangkaan kedelai masih menghiasi sore hari ini. Di stasiun radio itu kudengar wawancara reporter dengan pengusaha kedelai yang banting setir jadi peternak ayam, tukang parkir, dan sebagainya.

Berita selanjutnya tentang harga gandum melangit yang mengakibatkan harga tepung terigu ikut naik. Imbasnya pada pengusaha roti. Mereka mengurangi ukuran roti yang diproduksinya. Adonan yang dulu untuk dua roti kini harus dibagi jadi tiga bagian. Belum lagi rencana kenaikan harga gas alam, kenaikan tarif telpon, dsb.

Ketika sampai di rumah, aku dilapori suami yang kebetulan sedang libur. Ia suka blusukan ke pasar tradisional kalau sedang off. Katanya, harga minyak goreng yang biasa sudah mencapai sepuluh ribu rupiah. Kalau dipikir-pikir pusing juga. Mending dijalani saja. Yang pasti, kayaknya kita harus mengencangkan ikat pinggang deh.

Tapi, di saat seperti ini rasa-rasanya aku makin terpesona dengan alam. Kalau tidak bisa makan roti, kita masih bisa konsumsi polo kependem seperti ketela, ubi, talas, mbothe, ganyong, dkk. Minyak mahal? Ya, dikukus aja. Kayaknya lebih sehat. Kita lihat saja apakah akan terjadi migrasi besar-besaran ke vegetarian. Tapi kalau sayuran juga mahal, ya nggak tahu lagi???

Comments

Popular Posts