Sandalku...
Hari Ahad, 2 September 2018 KP kedua. Seperti biasa, kami merencanakan berangkat hari Sabtu malam agar bisa bermalam di sana. Untuk KP kedua ini sebenarnya abi sudah mengantongi tiket
KA. Sayang, jam keberangkatan yang terlalu malam—20.30 membuat kami berubah
pikiran. Kami menggunakan moda bus untuk kedua kalinya. Tidak mengapa. Toh,
bulan lalu perjalanan lancar jaya. Bus yang kami tumpangi bagus, bersih, dan
kursinya besar. Ruang kaki juga lebih lebar.
Bungurasih di malam minggu sangat ramai. Kulihat tempat bus
patas arah Malang di platform 7 masih kosong. Sebaliknya, para penumpang sudah
antre bergerombol. Tidak rapi seperti warga Jepang ketika antre. Bahkan saat
evakuasi gempa pun, mereka masih berdiri di antrian. Berjajar rapi.
Aku mulai resah bagaimana menyikapi ini. Calon penumpang
sudah bergerombol, bersiap-siap menerobos pintu masuk bus begitu bus berhenti
di sini. Yang jadi pikiranku adalah Enji, bungsuku. Pasti akan terdesak-desak. Aku
segera mengatur strategi agar ia berada di depanku sehingga aku bisa mengawal dan
memasukkan tubuh mungilnya. Abi akan menaruh tas bawaan yang lumayan besar di
bagasi.
Benar apa yang kuperkirakan. Begitu bus datang, calon
penumpang tadi segera menyerbu kedua pintunya
yang bahkan belum terbuka. Saling mendorong, menyikut agar bisa sampai
ke dalam bus. Ketika agak longgar kami segera masuk. Tentu saja kudahulukan
bungsuku itu. Sampai di dalam ternyata semua kursi sudah terisi.
Akhirnya kami turun kembali. Beberapa penumpang yang lain
juga mengambil keputusan yang sama. Tidak mungkin bagi kami untuk berdiri dari
Surabaya-Malang. Apalagi harus membayar penuh tiketnya. Kami kembali berdiri di
bawah platform 7. Menunggu bus kedua yang akan membawa kami ke Batu.
Pada awalnya hanya beberapa orang saja. Tidak sampai 10
orang namun seiring berjalannya waktu, satu demi satu penumpang datang.
Berdiri, bergerombol, bersiaga di depan pintu masuk. Aku hanya bisa menghela
napas panjang begitu menyadari antrian di belakangku begitu banyak. Kali ini
kami menanti cukup lama. Tidak seperti bulan lalu. Hampir setengah jam-an kami
berdiri dan belum ada tanda-tanda kemunculan bus yang kami tunggu. Melihat kesempatan, para preman menawarkan kepada para
penumpang agar menaiki bus yang lain saja.
“Langsung berangkat Pak, Bu, monggo-monggo,” begitu ajaknya.
Ada sekitar 4 orang yang berteriak-teriak mencari penumpang.
“Kalau tidak kenal orangnya bisa bahaya, Mbak. Kita nanti
akan dioper-oper atau bahkan diturunkan semaunya, “ ucap seorang bapak di
sampingku. Ia hendak pulang ke Malang. Tujuan ke Surabaya karena menghadiri
temu wali mahasiswa. Putranya diterima di ITS. Ah, sungguh berkebalikan. Kami—yang
orang Surabaya menyekolahkan anak di Malang. Lelaki ini menyekolahkan putranya
di Surabaya.
Keempat lelaki yang menawarkan jasa bus tadi akhirnya
minggir setelah didapatinya tak seorang calon penumpang pun tertarik dengan penawarannya. Aku mencoba
mengarahkan pandang ke kanan, kiri, belakang untuk memastikan seberapa besar
energi yang perlu kukeluarkan untuk bisa masuk ke dalam bus nanti. Aku segera
berbisik kepada bungsuku. Memberitahunya agar ketika ia sampai di dalam bus segera mencari
tempat duduk. Kemudian, ia harus meletakkan tas dipegangnya di atas kursi yang
lain untuk mendapatkan seat untukku dan abinya. Ia mengangguk-angguk dengan
jelas.
Beberapa waktu kemudian akhirnya datang juga yang kami
tunggu-tunggu. Persis dugaanku. Begitu bus berhenti, orang-orang di belakangku
segera menyerbu ke depan.
“Tunggu-tunggu, pintunya belum dibuka,” teriak sang
kondektur yang berusaha mengatur jejalan penumpang.
Aku segera membawa bungsuku di sela-sela himpitan para
penumpang. Alhamdulillah, ia bisa masuk. Sekarang giliranku. Aku berusaha keras
untuk naik ke atas bus tapi rupanya ada yang mengganjal kakiku. Tidak bisa
bergerak. Sepertinya ujung rokku ada yang menginjak sehingga aku tidak bisa menggerakkan
kakiku. Ketika akhirnya aku bisa mengangkat kaki kananku tiba-tiba sandal kiriku jatuh. Aku mencoba mencari ke bawah tapi tidak terlihat saman
sekali. Sementara itu, antrian di belakangku mengular.
“Sandalku... sandalku jatuh, bi,” teriakku sekenanya. Tidak kudengar jawaban Abi. Mungkin ia ada di belakang rombongan orang-orang ini.
“Mbak naik aja, nanti dicari setelah sudah dapat tempat
duduk, “ kata orang tepat di belakang telingaku.
Akhirnya aku turuti sarannya. Aku segera naik ke atas.
Kulihat sandal kanan bungsuku tergeletak di samping kursi paling depan. Ah,
rupanya bungsuku juga mengalami hal serupa. Segera kuambil dan kuberikan
kepadanya. Ternyata ia hanya mendapat dua kursi. Aku juga belum melihat abi di
dalam bus. Kemana ya, batinku.
Orang yang menyarankan aku naik terlebih dulu ternyata tidak
mengingkari janjinya. Segera setelah ia mendapat tempat duduknya segera ia
menuju pintu. Mencari sandalku. Seorang pedagang asongan mengacungkan selop berwarna denim itu
tepat di depan pintu masuk.
“Mbak, mbak... yang sandalnya jatuh, “ ucapnya.
Aku segera menuju ke depan, mengambilnya, dan mengucap
terima kasih. Saat itulah aku melihat tiga orang laki-laki masuk ke dalam bus.
Satu orang mendapat tempat duduk di depan persis di samping sopir. Bangku cadangan. Satunya
terpaksa duduk di lantai setelah melongok ke belakang dan tak satupun bangku yang kosong. Satunya lagi,
masih bergantungan di belakang sopir. Ternyata, suamiku. Abi.
***
Pusba, Kamis/ 6/9 2018
Comments