Di shaf pertama


Aku terbangun ketika  jarum jam menunjukkan pukul 02.45. Sepi menyelimuti. Hanya suara ayat-ayat Alquran dari masjid yang menggema pelan. Disusul azan pertama. Seluruh penghuni guest house ini masih terlelap. Suara dengkuran masih tersisa. Aku menjadi yang pertama terjaga. Segera kusisir rambutku. Kuikat dan  kukenakan jilbab. Kurapikan selimut yang membungkus tubuh Enji. Ia tampak tenang dalam tidurnya. Kusiapkan mukena menuju ke masjid. Aku ingin ikut sholat lail seperti di bulan lalu.

Kalau tidak salah, bulan lalu sholat lail dilaksanakan sekitar 4 rakaat ditutup witir 3 rakaat. Surat yang dibaca panjang-panjang sehingga meski 7 rakaat bisa menghabiskan satu jam lebih. Mulai pukul 03.00 sampai pas subuh, 04. 17. Aku menikmatinya karena suara imamnya sangat lantang. Penuh semangat. Mungkin untuk mengusir kantuk para santri.

Ketika kubuka pintu guest house, yang terletak tepat di samping kiri masjid,  segera kudapati bayangan-bayangan hitam berkelebat. Ada yang berjalan pelan namun tak jarang yang berlarian menuju masjid. Ah, salah satunya pasti dirimu.

Guyuran air wudhu menyegarkan wajahku. Masjid masih gelap gulita. Segera kumenuju ke lantai dua. Masih tertutup rapat. Pintu masuk ke lantai dua itu kugeser. Tak kutemukan satu manusia pun di sini. Di sisi kanan masjid tampak ada gundukan berwarna putih. Mirip manusia yang sedang berkemul. Ragu-ragu kulangkahkan kakiku ke dalam.

Aku mengambil posisi di shaf pertama tepat di tengah. Pas arah jam 12. Posisi ini sangat menguntungkan bagiku karena nanti aku bisa melongok ke bawah. Menyaksikan para santri ini sholat lail, mendengar ceramah, push up tipis-tipis dan ..... tidur. Mengobati kangen setelah sekian lama tidak bersua denganmu.

Dua, empat, enam rakaat sudah kutunaikan dengan harapan mendapat ridhlo penguasa alam. Tatkala aku berdiri untuk melanjutkan rakaat selanjutnya, entahlah mata ini tak kuasa menolak untuk melihat ke bawah. Masjid masih gelap. Lampu-lampu memang masih dipadamkan. Dalam keremangan kulihat sudah banyak para santri yang di masjid. Kebanyakan mereka sholat beberapa rakaat kemudian tertidur dengan berbagai macam posisi. Ada yang duduk, menangkupkan kedua tangannya di karpet masjid dalam posisi sujud, bersandar di dinding masjid, dan sebagainya.  

Seorang santri duduk di shaf depan. Lebih tepatnya duduk setengah tidur. Persis di sebelah kiri imam menarik perhatianku. Kain sarung yang tampak samar di kegelapan, baju koko putih yang membungkus tubuh mungilnya dan kopyah putih menutupi kepalanya. Ia duduk tetapi badan atasnya menempel ke karpet. Tidur. Entahlah feeling-ku mengatakan itu dirimu.

Beberapa rakaat kutunaikan kembali. Beberapa ibu juga mulai berdatangan ke masjid. Rupanya tanda-tanda kedatangan imam untuk sholat lail tidak ada. Sampai menjelang subuh kami sholat secara individu. Kulirik para santri di bawah. Masih dalam posisi semula. Sudah semakin penuh tetapi posisi mereka kebanyakan tidur sambil duduk. Tidak  terkecuali santri mungil di shaf pertama. Ia menggeliat. Bahasa tubuhnya persis dirimu. Setelah itu, ia tertidur lagi.

Saat menjelang azan subuh, lampu dinyalakan. Segera kumelongok ke bawah. Ternyata feeling keibuanku benar. Santri mungil di shaf pertama itu dirimu, anakku.

Semoga Allah memberimu kesehatan selalu, kemudahan dalam menghafalkan Alquran, dan kesuksesan untuk meraih cita-citamu.

Comments

Popular Posts