Ba'da Salat Lail di Batu
“Mari bu ke masjid, “ ajaknya.
Saya mengangguk sambil menyilakan, “Monggo, bun.”
Selesai di kamar mandi dan berwudhu kukenakan mukena, menuju masjid. Hawa
dingin segera menampir wajahku. Ternyata masjid masih gelap. Ada beberapa
santri yang berjaga. Segera kunaik ke lantai dua ada. Di sana kutemukan ada 2-3 ibu yang sudah
mengenakan mukena. Aku lihat di lantai 1
masjid anak2 masih bisa dihitung dengan jari. Beberapa di antaranya duduk,
bersandar di dinding masjid, menyelonjorkan kakinya. Beberapa lainnya
telungkup. Masih mengantuk mungkin.
Segera kutunaikan rakaat demi rakaat. Tak terasa mataku terasa panas.
Air mata segera menghujan deras. Aku bersimpuh di hadapanmu ya Allah. Hanya
Engkaulah satu-satuya penjaga yang sempurna. Berikanlah kesehatan kepada
anak-anak kami. Terutama Salman. Berikan kekuatan padanya. Berikan RidloMu ya
Allah. Duhai Allah, kuatkanlah fisiknya,
kuatkanlah jiwanya, kuatkanlah hatinya.
Tak henti-hentinya kumohon pertolongan
Allah karena aku sadar hanya Allah lah sebaik-baik pelindung. Ketika
tangan-tangan kami—para wali santri- tak lagi mampu merengkuhnya, maka hanya
kepada Allah lah semua kami kembalikan.
Tepat pukul 3 dini hari sholat lail ditunaikan secara berjamaah. Suara imam yang nyaring, penuh semangat
diharapkan mampu membangkitkan ghirah para santri. Tiap rakaatnya membaca surat
yang panjang. Tidak terasa 4 rakaat selesai ditunaikan. 3 rakaat witir menutup
sholat lail. Tepat saat itu azan subuh
berkumandang.
Hatiku bergetar. Anakku, doakan kami. Umi abi ini bisa seperti kamu.
Bantu kami dengan doamu, Nak. Salman, malaikat kecilku itu telah mengajariku
banyak hal. Tentang menyiapkan masa depan. Tentang rindu. Tentang cinta.
Batu, Ahad1282018
Comments